Kamus Merdeka
Kamus Merdeka
Karya: Fauzan Taqiuddin Abdul Fatah
Merdeka itu….
Ialah kita menyiapkan pelajaran,
membuka lembaran dengan percakapan.
Ialah kita menjawab pembicara,
menyimak kalimat dengan cermat.
Ialah kita menghapus “Ketidaktahuan”
menuliskan “Ketahuan” tanpa sembunyi.
Interpretasi Makna Bait Ke-1
Bait ini, penulis mengimajinasikan makna kemerdekaan ke dalam tiga larik.
“Ialah kita menyiapkan pelajaran,”
Kalimat ini mengandung makna bahwa kita sebagai manusia secara umum dan warga negara Indonesia secara khusus bahwa segala sesuatu yang dapat diindra oleh mata, telinga, hidung, dan mata hati merupakan pelajaran dan guru hebat yang menavigasi arah kehidupan kita. Jika kondisi ini masih kita rasakan, masih kita alami, hingga saat ini, sungguh! rasa syukur yang tiada batasnya. Namun jika sebaliknya, dalam artian terdesak oleh kondisi, terancam sosial, dan krisis kehidupan sehingga tidak ada yang dapat dinikmati dan disyukuri, sungguh! betapa kolonialnya kondisi yang dihadapi, sungguh bukan situasi yang diharapkan. Oleh karena itu, patut bahkan wajib kita syukuri di saat kita menikmati udara segar perkampungan, indahnya terbenamnya matahari dengan background persawahan di waktu sore, dsb.
“membuka lembaran dengan percakapan.”
Artinya, segala sesuatu awali hari dengan lembaran baru dan berikan kesan positif/baik. Seorang motivator pernah berkata, “Awali pagimu dengan rasa sayang. Sayang pada diri sendiri. Sayang pada pekerjaan. Sayang pada orang di sekitar.” quotes ini mengandung makna yang sama dengan larik di atas, bahwa manusia diberi kebebasan untuk berbuat hal positif baik berguna untuk dirinya ataupun untuk orang lain. Dan untuk mengawalinya, hal yang paling orang disepelekan, atau bahkan jarang orang lakukan ialah mengawalinya dengan sapa-menyapa sebagai bentuk membangun kekeluargaan yang harmonis. Jika tidak demikian, maka kita belum merdeka dari sifat apatis yang menyerang sikap, atau jangan-jangan sudah bertahun-tahun berteman dengan emosional kita? oh! Semoga saja tidak.
“Ialah kita menjawab pembicara,”
Manusia juga makhluk sosial. Sosial bukan sekedar berbaur dengan manusia lainnya. Ada hal lain yang perlu diperhatikan. Apa itu? Ramah. iya, melanjutkan larik pertama di atas bahwa percakapan bukan sekedar menjawab pertanyaan sebatas basa-basi semata, melainkan menjawab pembicara sesuai dengan konteks pembahasan dan kelas status sosial si pembicara. Kondisi ini menuntut penyimak/mitra tutur untuk terus meningkatkan kualitas baik dari segi peka terhadap pengetahuan ataupun peka terhadap sosial.
“menyimak kalimat dengan cermat.”
Agar dapat menjawab sesuai dengan harapan pembicara, maka aturan pertama ialah cermati apa yang ditanyakan. Tujuannya agar dapat menjawab sesuai dengan konteks pertanyaan atau si pembicara. Hal ini termasuk dari keterampilan mendengar/menyimak dalam bidang ilmu bahasa. Atinya merdeka dari minimnya literasi. Tingkatkan kepekaan multi literasi yang menjadi salah satu faktor pendukung tingginya wawasan seseorang.
“Ialah kita menghapus “Ketidaktahuan”
Memperkuat larik di atas, bahwa bodoh itu menyakitkan dan terasa gelap tanpa petunjuk arah. Senada dengan perkataan imam Syafii, “Barang siapa belum merasakan pahitnya belajar walau sebentar, Ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.” Sebagai pelajar, untuk menjadi pintar dan cerdas merupakan hal biasa dilakukan secara kompetitif. Hal ini wajar dan baik-baik saja. Karena sejatinya merasa terbelakang, tidak memiliki hasrat tersaingi, atau bahkan tidak memiliki motivasi untuk mengubah diri berarti dia belum dapat dikatakan merdeka (bebas dari rasa malu dan minder).
“menuliskan “Ketahuan” tanpa sembunyi.
Jika Anda sudah berada di koridor “berpengetahuan” maka pertahankan dan lanjutkan mengukir kehidupan dengan prestasi-prestasi bertabur bintang. Pastikan Anda tidak mudah berbangga diri dengan cukup satu prestasi saja, melainkan episode satu yang memikirkan dan merencanakan ke episode berikutnya. Terakhir, jangan menutup diri dari keahliannya. Jika seorang dokter saja memasang neonbox dengan tulisan ‘Dokter Spesialis Gigi’ mengapa Anda tidak memasang ‘Ahli Fisika’, ‘Ahli Matematika’, ‘Ahli Fiqh’ dst? Jadi, mulai saat ini merdekakan diri kita, berikan hak kita yang sudah menjadi bagian darinya. Buang rasa gengsi, malu, atau apa pun itu yang membuat kita takut untuk menunjukkan hal baik pada publik.
Merdeka itu harus:
Bangun dari malas yang melas
Jauhi sikap buas yang membias
Bisa tahan banting jadi bintang
Jika berusaha gigih maka gagah
Andai berbuat baik niscaya berbiak
Interpretasi Makna Bait Ke-2
Bait kedua, penulis mengimajinasikan makna kemerdekaan ke dalam lima larik.
“Bangun dari malas yang melas”
Merdeka konteks sekarang itu terbebas dari sikap bermalas-malasan. Siapa pun orangnya, apa pun latar belakangnya, suku apa pun dia, jika tidak mau belajar, sekolah, bekerja, berusaha maka jangan harap sosial meliriknya. Harapan masa depan cemerlang hanya angin lewat semata. Lebih malu lagi bila malas juga melas. Sudah malas, menunjukkan dan memohon belas kasih lagi.
“Jauhi sikap buas yang membias”
Sikap buas artinya belum dapat mengontrol diri, tidak dapat menjaga bahkan menghindari sifat kejam baik kepada dirinya maupun orang lain. Pelajar dan pengajar tidak seharusnya menonjolkan sikap ini terhadap pihak yang terikat dengan dirinya. Oleh karena itu, jauhi sifat ini dengan bijaksana. Membias artinya suka menyimpang dari norma-norma yang berlaku.
“Bisa tahan banting jadi bintang”
“Jika berusaha gigih maka gagah”
Dua larik ini bermakna dan memiliki maksud yang sama. Jiwa pejuang (pantang menyerah) adalah cerminan dari sikap optimisme yang sering memperoleh akhir yang baik. bintang artinya tidak perlu menjadi yang pertama dalam setiap kondisi. Karena tujuan ia berusaha, maksud dari pantang menyerah adalah suka berproses tanpa memikirkan dan mengharapkan hasil akhir dari proses yang dilakukan.
“Andai berbuat baik niscaya berbiak”
Larik terakhir, mari memerdekakan diri dalam setiap moment untuk terus berbuat baik. Setiap yang baik pasti akan berbiak. Artinya kebaikan akan dibalas oleh kebaikan yang lain. Secara implisit terdapat makna “memanusiakan manusia”.
Ingat!, merdeka itu…:
Ngaji juga sekolah!
Santri juga siswa!
Belajar juga mengajar!
Iman dan Ilmu
Akhlak dan Aswaja.
Interpretasi Makna Bait Ke-3
Bait ketiga, penulis mengimajinasikan makna kemerdekaan yang dipadukan dengan identitasnya.
“Ngaji juga sekolah!”
“Santri juga siswa!”
Penulis memasukkan kalimat di atas pada bait terakhir sebagai bentuk imbauan kepada kaum sarung, khususnya santri Pondok Pesantren Al-Khoirot untuk memerdekakan diri dalam hal mengikuti berbagai bidang kajian ilmu di pesantren, di sisi lain para santri juga dituntut untuk sekolah. Tidak hanya lulus MA kemudian S-1 saja melainkan dituntut untuk menjadi santri ideal versi Al-Khoirot, yakni S-3 atau bergelar PhD (level S3) pada bidang studi yang dipilihnya. Hal ini sesuai dengan visi misi pesantren “mencetak ilmuwan yang ulama dan ulama yang ilmuwan.”
“Belajar juga mengajar!”
Merdekanya santri tidak sebatas mengaktualisasikan diri untuk terus belajar, tetapi pada waktu yang sama, ilmu yang dimiliki meskipun sedikit maka ajarkanlah kepada yang membutuhkannya. Atau juga amalkan sesuai dengan kadar kemampuan kita
“Iman dan Ilmu”
“Akhlak dan Aswaja.”
Terakhir, kemerdekaan santri Al-Khoirot berikutnya ialah puncak ideal yang menjadi ujung tombak. Kalimat ini mengutip dari empat prinsip atau pedoman yang harus dimiliki dan diamalkan oleh kaum santri terlebih santri pondok pesantren Al-Khoirot.
Asal Bandung suka nulis puisi