Cerpen Bersajak
Cerpen merupakan salah satu karya sastra berbentuk prosa. Cerpen berisi tentang kisah kehidupan baik bersifat imajinatif maupun terinspirasi dari kehidupan nyata. Cerpen memiliki ciri yang unik dari pada karya berbentuk prosa lain seperti Novel. Cerpen memiliki ciri hanya memiliki alur tunggal, habis dibaca sekali duduk, terdiri dari 1.000 sampai 10.000 kata, tema terbatas, tokoh terbatas dan lain – lain.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan media, cerpen mengalami perubahan menyesuaikan dengan kebiasaan yang disukai oleh pembacanya. Salah satu kebiasaan pembaca saat ini terutama para remaja yaitu selalu berhadapan dengan gawai atau handphone yang isinya tidak bisa lepas dari kehidupan remaja ialah media sosial. Salah satu yang disukai oleh pembaca dari media sosial adalah membaca narasi – narasi pendek dan keterangan yang ada di suatu unggahan di media sosial.
Kebiasaan membaca narasi pendek tersebut mengakibatkan perasaan bosan dan malas membaca narasi – narasi panjang meskipun hanya sekedar membaca cerpen. Padahal cerpen seperti yang disebutkan sebelumnya memiliki ciri bisa dibaca sekali duduk. Oleh karena itu, cerpen berkembang sesuai dengan kondisi pembaca saat ini. Salah satunya berevolusi menjadi lebih pendek dan lebih menarik dengan tampilan seperti puisi. Hal ini dilakukan untuk menarik kembali minat membaca cerpen bagi pembacanya terutama kaum remaja saat ini. Berikut ini adalah contoh cerpen bersajak yang memadukan cerpen dengan puisi.
Sura dan Baya
Di tepi sungai yang airnya deras, hiduplah dua makhluk dengan kuasa yang jelas.
Sura si hiu, penguasa lautan, dan Baya si buaya, raja perairan dangkal nan tenang.
Mereka bersahabat, meski berbeda, hidup berdampingan tanpa sengketa.
Namun, suatu hari, demi menjaga batas, sebuah janji pun mereka ikrarkan dengan tegas.
“Kau tetap di sungai, aku di laut,” kata Sura sambil tersenyum lembut.
“Jangan kau langgar batas ini, agar kita tak pernah berselisih nanti.”
Baya mengangguk, setuju sepakat, “Baiklah, kawanku, kita berbagi tempat.
Sungai untukku, laut untukmu, begitulah cara kita menjaga damai selalu.”
Hari-hari berlalu dalam kedamaian, hingga musim berganti dengan perut kelaparan.
Ikan di sungai tampak begitu segar, membuat Sura tak lagi sabar.
“Ah, hanya sesekali, takkan ada yang tahu,” pikir Sura seraya mendekati tepian yang biru.
Dengan rakus ia melahap mangsa, lupa pada janji yang pernah dipinta.
Baya muncul, marah membara, “Sura, apa kau lupa perjanjian kita?
Sungai ini tempatku berkuasa, mengapa kau langgar, mengapa kau tega?”
Namun Sura tak mau kalah, “Aku hanya lapar, tak ada salah.
Sungai dan laut tak benar-benar beda, kita makhluk yang sama, tak perlu drama.”
Pertengkaran pun tak lagi terelakkan, air sungai keruh, riak memercikkan.
Gigi dan rahang saling menghantam, dendam mereka menggetarkan alam.
Namun lelah akhirnya mendera, tubuh terluka, keduanya tersadar.
“Sudah cukup, ini hanya sia-sia,” ucap Baya dengan suara serak.
Sura kembali ke lautan luas, membawa luka dan rasa yang puas.
Baya berjaga di sungainya sendiri, menjaga batas tanpa kompromi.
Legenda mereka terus diceritakan, tentang keserakahan dan pelajaran kehidupan.
Halo! Saya Junaidi. Salah satu mahasantri Ma’had A’ly Madrasah Al-Khoirot. Telah menyelesaikan jenjang Madrasah Diniyyah Ibtidaiyyah dan Madrasah Diniyyah Tsanawiyyah Al-Khoirot yang ditempuh selama 8 tahun.