Hikayat

Kota Artifisial

Setiap pagi, langit selalu terlihat bahagia. Cahaya menyentuh bumi tanpa sungkan. Ujung pohon berkelip menyilaukan tampak asing. Jalan raya padat dipenuhi lalu lalang kendaraan bermotor. Ttrotoar menjepit kiri kanan jalan. Orang-orang memulai harinya dengan berbagai kesibukan seolah-olah dunianya sedang baik-baik saja.

Sebuah kota Artifisial, tempat di mana segalanya serba buatan, tak ada yang namanya alami. Pohon dan tanaman juga tak terkecuali, yang ada adalah pohon buatan yang serba terbuat dari plastik, yang bisa diubah-ubah tampilannya dengan remote kontrol. Kota ini dikelilingi oleh dinding yang tinggi dan terisolasi dari dunia luar di sekitarnya. Orang-orang sama sekali tak bisa melihat situasi kota selain kotanya sendiri.

Fred mengendarai skuternya melewati kota dengan percaya diri sebagai seseorang yang mengetahui tempat itu seperti dunianya sendiri. Penjalanannya berakhir di pinggiran kota. Berhenti di depan sebuah rumah. Kemudian turun dari skuternya. Mencapai ke dalam tas dan mengeluarkan pesawat remot jarak jauh. Fred tersenyum saat dia mengeluarkan pesawat remotnya. Fred meletakkannya di tanah. Mengoperasikan remote control, dan menekan tombol on. Fred kemudian menerbangkan pesawat dan langsung menuju halaman belakang seseorang. Bukannya kesal karena pesawatnya jatuh di halaman seseorang, dia malah tersenyum seolah-olah hal baik akan datang padanya.

Dia berlari ke pintu depan rumah itu dan membunyikan bel pintu beberapa kali. Saat pintu terbuka, Fred mulai membayangkan seseorang dihadapannya adalah putri cantik yang sudah lama ia nantikan.

Audie. Seorang gadis remaja, cantik dan beaura positif. Putri cantik impian Fred. Fred menatapnya dengan penuh hormat, tiba-tiba canggung di hadapannya. Wajah Audie bersinar, tenang tampak percaya diri. Sepasang matanya serupa mantra. Menentramkan siapapun yang menatapnya.

“Oh, hai, Fred.” sapa Audie.

Fred tersadar dari bayangan khayalannya

(mencoba untuk bersikap tenang) “Oh, hei, Audie. Hai.”

“Apakah bolamu mendarat di halaman belakangku lagi?” Tanya Audie dengan raut wajah penasaran apa yang Fred rencanakan. Fred seringkali mendaratkan bolanya dihalaman belakang Audie. Tak heran jika kali ini Fred melakukan hal yang sama.

“Apa?! Tidak. Kali ini pesawatku.” jawab Fred dengan menggaruk kepalanya Audie tersenyum, dugaannya ternyata benar.

“Hei, apakah kamu ingin melihat sesuatu yang keren? Ayolah” Tanya Audie

Audie berbalik untuk masuk ke dalam rumah. Fred mengikutinya, menyemprotkan penyegar napas ke dalam mulutnya saat dia masuk. Mereka mendongak untuk melihat lukisan di dinding yang menggambarkan hutan subur yang dipenuhi dengan banyak pohon. Fred menatap lukisan itu dengan kagum.

“Wah, ini luar biasa. Apa itu?” tanya Fred

“itu adalah hutan yang dipenuhi dengan pohon asli. Dulu pohon itu ada di sekitar sini. Orang-orang mengatakan bahwa pohon itu membuat suasana menjadi sejuk.”

“Yang saya inginkan lebih dari apa pun di seluruh dunia adalah melihat pohon hidup yang nyata, tumbuh di halaman belakang rumah saya.” lanjut Audie dengan harap cemas.

Memang, di kota Artifisial segala sesuatu terlihat sempurna dengan teknologi canggih. Arden Armstrong adalah walikotanya, seorang pebisnis berperawakan cebol yang ambisius dan serakah, yang selalu dikawal oleh 2 bodyguard tinggi besar yang kuat. Di tempat ini segalanya terlihat sempurna. Penduduknya tampak serba cukup dan bahagia.

Saat itulah Fred bertekad untuk mendapatkan pohon betulan agar bisa membuat Audie terkesan. Namun di kotanya tidak ada pohon betulan maupun benihnya. Diam-diam Nenek Fred memberi tahunya legenda tentang satu-satunya orang yang tahu tentang nasib pohon betulan. Edvard, seorang yang dapat memberikan keterangan tentang pohon jika diberi banyak uang. Dia tinggal di luar kota mengurung diri di sebuah gubuk terpencil, dan konon tak pernah menampakkan dirinya kecuali lengannya saja.

Fred pergi ke luar kota menemui Edvard di malam hari. Ia berusaha mencari jalan keluar menuju kota seberang. Kamera keamanan mengawasinya lewat. Dia terus melewati sungai di jembatan kecil sampai dia mencapai pintu keluar. Alarm keamanan berbunyi , Arden selaku walikota melihat kamera keamanan, apa yang sedang terjadi. Ia melihat seorang anak berusaha keluar dari kotanya. Arden penasaran apa yang dia rencanakan sehingga ingin keluar dari kota ini. Padahal, selama lebih dari 10 tahun tidak ada yang pernah berusaha untuk meninggalkan kota Artifisial.

Fred berhasil keluar ke dunia luar kota. Kota terpecil. Diisi dengan sampah dan air kotor serta tunggul pohon.

“Hah?” Dia melihat dunianya sebagaimana adanya. Sangat buruk.

Fred menyetir sendiri dan melanjutkan perjalanan melewati banyak tunggul pohon. Badai muncul di langit yang berkabut dan dia mendongak untuk melihat papan nama kota Artifisial tua. Kilat petir, mengganggu Fred, yang hampir dipenggal oleh serangkaian bilah kapak tua yang berkarat. Dia mengelak dan untungnya tak mengenainya. Dia melihat ke belakang untuk memastikan bahwa itu adalah Peretas Kapak yang hancur.

Saat ini, kota Artifisial jauh di belakangnya sekarang. Fred meluncur melewati kabut, dan menyusuri jalan setapak. Dia terus bergerak maju menembus kabut sampai dia tiba di gubuk tua dengan jendela berpalang yang terlihat seperti angin kencang yang mungkin akan menjatuhkannya. Fred mengambil napas dalam-dalam dan melanjutkan perjalanannya ke atas bukit.

Dia tiba di depan gubuk tua, yang hanya terlihat lebih menyeramkan dari dekat. Dia melanjutkan ke depan, tidak menyadari bahwa seseorang sedang mengawasinya dari dalam jendela atas. Edvard.

Setelah melalui berbagai rintangan yang dilalui Fred demi mendengar legenda pohon dari Edvard, akhirnya Edvard setuju juga untuk bercerita tentang sejarah nasib pohon yang punah. Namun karena ceritanya panjang, Fred harus beberapa kali bolak-balik mengunjungi Edvard.

Semuanya dimulai bertahun-tahun lalu ketika Edvard masih muda. Sebagai seorang anak muda, dia senantiasa bertualang mencari peruntungan ditemani keledai dan gerobak- keretanya. Keluarganya menertawai usahanya dan yakin dia takkan sukses. Suatu hari dia menemukan sebuah tempat yang sangat indah. Tempat itu adalah hutan pohon dan bunga yang berwarna-warni. Di sana ia menjumpai sekawanan binatang. Untuk memulai usaha barunya dengan produk Ost, ia menebang sebuah pohon sebagai bahan rajutan. Dia mengklaim penemuannya ini bisa dipakai untuk kebutuhan serbaguna, bisa kursi, karpet, taplak, dan lainnya.

Namun aksi tebang pohonnya ini mengundang kedatangan seseorang yaitu Osmond , yang mengaku sebagai “juru bicara pohon”. Osmond memperingatkan Edvard untuk tak lagi menebang pohon. Meski Edvard tak percaya dan tak menggubris kata-kata Osmond, namun ia berjanji untuk tak menebang pohon lagi, pada awalnya. Lagi pula produk Ost yang ia pasarkan memperoleh respon negatif dari masyarakat.

Tapi ini tak berlangsung lama. Sesuatu terjadi, produk Ost mendadak booming dan Edvard menerima bejibun permintaan dari pelanggan. Saat itulah Edvard melupakan janjinya pada Osmond. Ia mulai memproduksi Ost besar-besaran dan mengundang keluarganya karena bisnisnya berhasil. Atas desakan keluarganya, akhirnya produksi Ost makin diperbesar lagi, makin banyak pohon ditebang terus-menerus. Hingga suatu ketika, semua pohon habis ditebang. Ketika tak ada yang tersisa, Ost tak bisa diproduksi lagi, bisnisnya bangkrut, dan keluarga Edvard meninggalkannya. Edvard akhirnya sadar kesalahannya, ketika semua sudah terlambat.

Segala di sekitarnya sudah gersang, suram, udara dan air terkena polusi, hingga binatang- binatang yang tadinya ceria harus pergi mengungsi dalam keadaan sekarat. Osmond yang kecewa pada Edvard juga pergi menghilang, hanya meninggalkan batu bertuliskan “sesal”. Dirundung penyesalan, sejak saat itu Edvard mengurung diri di gubuk itu. Rupanya saat itulah pebisnis Arden Amstrong mulai membangun kota Artifisial yang serba artifisial untuk kepentingan kantongnya sendiri.

Seusai bercerita, Edvard jadi menyadari apa maksud tulisan “sesal” itu. Masih ada harapan untuk memperbaiki keadaan, yaitu dengan memberi Fred biji pohon yang masih tersisa untuk mulai ditanam kembali, dan menyadarkan masyarakat sekitar. Fred pun kembali ke kotanya, dengan tekad untuk melakukan sesuai harapan Edvard. Namun walikota Arden dan pengawalnya sudah siap mencegah dengan segala cara.

Terjadilah aksi kejar-kejaran memperbutkan biji pohon. Fred dibantu Audie, nenek dan ibunya berusaha lolos dan menanam biji itu di tengah kota. Arden terus menghalanginya, dan membujuk orang-orang untuk menghentikannya. Dia membujuk masyarakat bahwa pohon itu sesuatu yang kotor, dan dapat menimbulkan banyak masalah.

Untuk menyadarkan masyarakat, Fred nekat meruntuhkan dinding kota agar orang-orang melihat situasi di luar kota Artifisial yang tandus, suram, mengenaskan. Fred juga meluruskan apa yang dikatakan Arden. Dengan pohon, hidup menjadi lebih sehat, udara lebih bersih dan didapat dengan gratis. Selama ini Arden membuat para penduduk membayar untuk kebutuhan air bersih, bahkan udara bersih. Dia sedang mengembangkan produk berupa oksigen botolan.

Masyarakat sadar akan kelicikan Arden Armstrong, serta sadar pentingnya menanam pohon demi memperbaiki lingkungan. Biji pohon berhasil ditanam. Lambat laun, tanah mulai hidup kembali, tanaman mulai tumbuh subur hijau alami, binatang-binatang pun kembali. Edvard pun berbahagia berkumpul kembali dengan Osmond.

Baca juga : Mengenal Al Azhar dan Peradaban Budaya Kota Mesir

junaidi
Website | + posts

Halo! Saya Junaidi. Salah satu mahasantri Ma’had A’ly Madrasah Al-Khoirot. Telah menyelesaikan jenjang Madrasah Diniyyah Ibtidaiyyah dan Madrasah Diniyyah Tsanawiyyah Al-Khoirot yang ditempuh selama 8 tahun.

Avatar

Junaidi

Halo! Saya Junaidi. Salah satu mahasantri Ma’had A’ly Madrasah Al-Khoirot. Telah menyelesaikan jenjang Madrasah Diniyyah Ibtidaiyyah dan Madrasah Diniyyah Tsanawiyyah Al-Khoirot yang ditempuh selama 8 tahun.