Perkembangan Istilah Salafiyah dalam sejarah Modern
Istilah as-salafiah muncul pertama kali di Mesir, ketika negara berjuluk ‘Seribu Menara’ itu masih di bawah cengkeraman kolonial Inggris. Tepatnya, di masa-masa menjamurnya berbagai gerakan yang mengumandangkan semangat reformasi agama. Tokoh gerakan ini adalah Jamaluddin al-Afghani dan muridnya Muhammad Abduh. Seiring munculnya gerakan inilah istilah as-salafiah kian populer didengungkan. Semua itu tak lepas dari kondisi keagamaan dan ritual yang dijalankan masyarakat Mesir saat itu.
Di masa itu, berbagai bentuk ritual bid’ah dan khurafat memang berkembang pesat di seluruh penjuru Mesir. Ajaran tasawuf yang terkontaminasi kian memicu berseraknya ritual aneh bahkan gila di tengah masyarakat. Menghadapi realita ini, masyarakat Mesir kala itu terpecah menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama berpendapat, hendaknya masyarakat Mesir berkiblat kepada peradaban Barat, melepaskan diri dari segala ikatan dan peraturan bahkan pemikiran Islam.
Kelompok kedua berpendapat, memperbaiki keadaan kaum muslimin dengan cara mengembalikan mereka kepada ajaran Islam yang benar, bersih dari khurafat, bid’ah dan anggapan anggapan yang keliru. Selain itu, juga dengan merevitalisasi ajaran-ajaran Islam sehingga relevan dengan roda kehidupan masa kini. Kelompok ini juga mencoba membuka diri dengan peradaban asing selama tidak bertentangan dengan Islam.
Syaikh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh merupakan garda terdepan dari kelompok kedua. Kelompok ini juga membumikan istilah as-salafiah, yang saat itu dimaksudkan untuk mengajak kaum muslimin meninggalkan segala macam ritual keliru yang memperkeruh kesucian Islam, baik itu bid’ah ataupun khurafat. Dengan begitu, mereka optimis kaum muslimin dapat kembali kepada pemahaman Islam seperti di masa salaf, agar kemudian diteladani dan ditiru.
Tujuan dari pemilihan istilah as-salafiah adalah untuk membangkitkan kebencian masyarakat terhadap segala bentuk kekeliruan yang berkembang saat itu. Obsesi itu ditempuh dengan cara membandingkan realitas kehidupan kaum muslimin di masa awal yang penuh kegemilangan dan kemajuan, dengan realita yang dialami mereka saat ini, yang penuh kesuraman. Setelah itu, mereka menjadikan hubungan Islam dengan masa salaf sebagai standaritas dari setiap kebahagiaan kemajuan dan kebaikan.
Di tengah perjuangan ini, mulailah menyebar aliran Wahabi -sebuah aliran yang dinisbatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahab- di tanah Nejd (Arab Saudi) dan sebagian daerah di Semenanjung Arab. Tidak dipungkiri, ada korelasi antara munculnya aliran ini dengan dakwah reformasi (pembaharuan) agama di Mesir. Hal itu terlihat dalam realitas mereka dalam memerangi bid’ah, tahayul dan khurafat.
Oleh karena itu, penggunaan istilah salaf dan as-salafiah kian laris di kalangan elit aliran Wahabi. Tidak berselang lama, Istilah as-salafiah mulai disematkan kepada kaum Wahabi, atau mereka yang berpaham Wahabiyyah. Pengalihan ini merupakan strategi untuk membangun opini bahwa aliran Wahabi ini tidaklah hanya berhenti pada sosok Muhammad bin Abdul Wahab saja tapi merangkak naik hingga ke salaf. Tujuan lainnya agar masyarakat meyakini bahwa aliran yang mereka bangun adalah amanah untuk menyebarkan akidah, pemikiran dan manhaj salaf, baik dalam memahami Islam maupun mengaplikasikannya.
Begitulah, kata as-salafiah berkembang. Awalnya digunakan sebagai landmark gerakan reformasi Islam agar mudah diterima masyarakat, tapi akhirnya digunakan sebagai identitas kelompok yang menganggap diri mereka paling benar. Dengan menggunakan nama salafi, mereka mengklaim bahwa hanya merekalah yang paling amanah dalam menyampaikan akidah salaf, dan hanya merekalah representasi dari manhaj salaf dalam memahami serta mengaplikasikan ajaran Islam.
Referensi: Buku Menjawab Dakwah Kaum Salafi Karya Prof. Dr. Ali Jum’ah (Mufti Agung Mesir)
Alumni PP. Al-Khoirot Saat ini sedang menempuh pendidikan Program Magister di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta