Salam Lintas Agama (Wujud Toleransi, Doa Universal dan Kebhinekaan)
Salam merupakan ucapan kepada orang yang diberi ucapan dengan harapan kedamaian dan keamanan selalu menyertai, hal ini membuktikan bahwa penerima ucapan salam mendapatkan kedamaian dan keamanan selama berada didepan orang yang mengucapkannya.
Salam lintas agama atau salam semua agama adalah sebuah ucapan salam khas dari enam agama yang diakui di Indonesia dan diucapkan secara bersamaan, yakni:
- Islam ,“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh”
- Kristen, “Salam sejahtera bagi kita semua”
- Katolik, “Shalom”
- Hindu, “Om Swastiastu”
- Budha, “Namu Buddhaya”
- Konghucu, “Salam Kebajikan”
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam Damai Sejahtera untuk kita semua, Shalom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan” adalah salam pembuka yang populer saat ini diucapkan pejabat Indonesia. Ucapan ini adalah salam pembuka lintas agama dan tentunya diucapkan pada pertemuan-pertemuan inklusif di mana para pesertanya terdiri dari berbagai khalayak khususnya berbagai pemeluk agama.
Salam Lintas Agama diucapkan secara bersamaan untuk menghormati kebhinekaan negara, dan itu sebabnya disebut juga Salam Kebhinekaan. Salam lintas agama baru popular belakangan di era reformasi. Dimaksudkan sebagai salam penghormatan kepada seluruh pemeluk agama, sekaligus sebagai simbol kerukunan dan toleransi beragama. Salam ini sendiri masing-masing memiliki makna yang substansial, esensial dan mendalam bagi umat beragama di Indonesia.
Salam ini sesungguhnya adalah doa universal yang ditujukan untuk merahmati siapa pun yang mendengarnya; yang secara umum berisi harapan untuk selamat, sejahtera, sehat, damai dan terpuji serta dikenan Tuhan. Dengan ucapan salam lintas agama ini maka setiap warga negara terlepas beragama apa pun dia akan merasa terdukung karena salam yang disampaikan padanya adalah doa yang dikenal dan dipahami sehingga spontan diaminkannya.
Salam lintas agama sempat menjadi polemik di Indonesia. Pasalnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan imbauan kepada para pejabat agar tidak menggunakan salam pembuka dari semua agama saat memberikan sambutan resmi, termasuk salam kebajikan. Imbauan ini terlampir dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019 yang ditandatangani oleh Ketua MUI Jatim KH Abdusshomad Buchori.
Dasar dari imbauan ini adalah pandangan bahwa salam adalah doa yang merupakan salah satu bentuk ibadah. Penggunaan salam beberapa agama dalam konteks resmi dianggap sebagai pelaksanaan ibadah yang tidak semestinya dilakukan. MUI Pusat juga mendukung imbauan yang dikeluarkan oleh MUI Jatim. Polemik muncul karena beberapa pihak berpendapat bahwa penggunaan salam agama dalam konteks resmi adalah cerminan semangat toleransi antar-agama.
Terkait hal tersebut, tentu saja menimbulkan pro dan kontra dalam menyikapi fenomena ini karena menyangkut kepada aqidah sebagai umat Islam. NU sebagai Organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ikut mengangkat suara. Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim telah merumuskan sikap yang diperoleh dari hasil bahtsul masail.
KH Syafrudin Syarif, Katib PWNU Jatim mengemukakan kepada sejumlah insan media bahwa penyampaian salam lintas agama sejatinya telah dilakukan sejak zaman nabi terdahulu. Karena itu, berdasarkan hasil bahtsul masail yang membahas masalah ini, maka pengucapan salam dengan menyebutkan seluruh agama tidak dilarang.
“Keputusan bahtsul masail PWNU Jatim tentang hukum salam lintas agama yakni Islam itu agama rahmat. Jadi Islam sebagai agama rahmat selalu menebarkan pesan-pesan kedamaian di tengah manusia,” ungkapnya.
Kiai yang ditunjuk sebagai juru bicara tersebut mengemukakan PWNU Jatim tidak melarang pengucapan salam seluruh agama. Salam seluruh agama bisa diucapkan demi kemaslahatan umat.
“Dalam kondisi tertentu, NU tidak melarang pengucapan salam lintas agama. Salam ini, bisa diucapkan dalam kondisi tertentu demi kemaslahatan umat,” jelasnya.
Lebih lanjut, Kiai Syafrudin menjelaskan bahwa tradisi mengucapkan salam juga dilakukan sejumlah nabi. Dikisahkan, Nabi Muhammad pernah mengucapkan salam kepada penyembah berhala dan golongan Yahudi yang sedang berkumpul bersama kaum Muslimin. Dan tradisi tersebut dilanjutkan para sahabat.
“Demikian pula sebagian generasi sahabat setelahnya, karena demikian menjadi sangat wajar tradisi menebarkan salam sebagai pesan kedamaian menjadi tradisi universal manusia lintas adat, budaya dan agama dengan berbagai model cara dan berbagai dinamika zamannya,” terangnya.
Kiai Syafruddin juga menganjurkan untuk mengucap salam Islam, apabila ada pejabat dari NU yang membacakan salam lintas agama saat memberi sambutan. Salam lintas agama dibutuhkan dalam menjaga persatuan dan kemaslahatan umatdan ini tidak apa-apa untuk diucapkan. Tetapi, bukan berarti salam lintas agama dianjurkan untuk senantiasa diucapkan.
Baca juga: Menelusuri Hikmah Qiyamul Lail
Alumni PP. Al-Khoirot Saat ini sedang menempuh pendidikan Program Magister di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta