ArtikelKeislaman

Menilai Pendapat Ulama dengan Dalil Syariat

Saat ini, kita sering menyaksikan perdebatan di berbagai forum diskusi. Sayangnya, banyak perdebatan yang justru menjadi ajang adu mulut tanpa hasil yang jelas, padahal seharusnya diskusi berfungsi sebagai sarana mencari solusi dan titik terang suatu permasalahan. Alih-alih membawa pencerahan bagi masyarakat, perdebatan tersebut justru memperkeruh suasana dan memperburuk perpecahan.

Lebih menjengkelkan lagi ketika seorang yang terpelajar begitu ambisius dalam diskusi, tetapi tidak menyertakan dalil sama sekali kecuali satu dalil, yaitu perkataan gurunya sendiri, yang bahkan tidak jelas sumber referensinya. Padahal, dalam perbedaan pendapat, umat Islam wajib merujuk kepada petunjuk Allah dan meninggalkan pendapat yang bertentangan dengan nash yang sahih. Seorang Muslim harus selalu mengikuti dalil dan menolak pendapat yang bertentangan dengan firman Allah dan sabda Rasulullah siapa pun yang mengatakannya.

Namun, tulisan ini bukanlah ajakan untuk meninggalkan guru dan menafsirkan Al-Qur’an serta Sunnah dengan pendapat pribadi semata. Sebaliknya, ini bertujuan agar seorang pelajar tidak hanya menerima perkataan seorang ulama tanpa mempertimbangkan kebenaran atau kesalahannya.

Guru kami di Al-Azhar dalam bidang Balaghah wa Naqd, Syaikh Balagiyyin fi Hadza al-Ashr, Dr. Abu Musa, pernah berkata:

حين تتلقَّى العلم بمبدأ (سَمِعْنا وأَطَعْنا) فلن تنتفع بشيء، إنَّما عليك أن تتلقَّاه بمبدأ (سَمِعْنا ونَظَرْنَا وفَكَّرْنا).. لا يُقال: (سَمِعْنا وأَطَعْنا) إلا لكلامِ الله وكلامِ رسول الله.

“Ketika kalian menerima suatu ilmu, janganlah kalian mengambilnya dengan prinsip ‘sami’na wa atha’na’ (kami dengar dan kami taat) karna kamu tidak akan dapat apa apa, tetapi ambillah dengan prinsip ‘sami’na wa nadharna wa fakkarna’ (kami dengar, kami lihat dan kami pikirkan) jangan katakan sami’na wa atha’na kecuali untuk alquran dan sunnah.” Jika benar, kita amalkan, jika salah, kita tinggalkan.

Allah Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

(An Nisa 4:59)  : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Para ulama menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan kewajiban mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah dalam setiap persoalan. Sedangkan menaati ulil amri berarti mengikuti ulama dalam hukum syariat serta pemimpin yang adil. Namun, jika mereka memerintahkan kemaksiatan, maka “tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.”

Jika terjadi perbedaan pendapat, maka rujukannya adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, jika fatwa seorang mujtahid bertentangan dengan nash, ijma’, atau kaidah syariat, maka tidak boleh diikuti atau disebarkan. Meskipun mujtahid tersebut tidak berdosa karena telah berijtihad dengan sungguh-sungguh, fatwanya tetap tidak boleh diajarkan jika bertentangan dengan dalil syar’i.

Nabi bersabda:

إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر

“Jika seorang hakim menetapkan hukum lalu berijtihad, kemudian benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Jika ia menetapkan hukum lalu berijtihad, kemudian keliru, maka ia mendapatkan satu pahala.”

Oleh sebab itu, para ulama di setiap zaman selalu mengkaji ulang mazhab mereka. Jika ada pendapat yang bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, mereka berusaha untuk menyesuaikannya.

Imam Asy-Syatibi dalam Al-Muwafaqat menegaskan bahwa berpaling dari dalil syar’i dan justru lebih memilih mengikuti tokoh-tokoh tanpa dasar dapat menyesatkan banyak orang, terutama jika tidak dibarengi dengan sikap inshaf (adil) dalam menilai pandangan lain. Beliau mengkritik orang-orang yang fanatik terhadap imam mazhab mereka hingga menolak kebenaran yang datang dari selain imam mereka.

Padahal, pendapat manusia meskipun ulama sekalipun bukanlah sesuatu yang suci yang harus selalu dianggap benar. Pendapat ulama harus selalu diuji kebenarannya. Yang wajib diikuti secara mutlak hanyalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

Imam Malik berkata:

كل أحد يؤخذ من قوله ويُترك إلا صاحب هذا القبر

“Setiap orang bisa diambil atau ditinggalkan pendapatnya, kecuali penghuni kubur ini (yaitu Rasulullah).”

Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga pernah menulis kepada masyarakat:

“Tidak ada pendapat yang bisa diutamakan jika telah ada sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah.”

Para ulama salaf sangat berpegang teguh pada sunnah dan menghormati pemahaman satu sama lain selama lafaz dalil memungkinkan adanya perbedaan. Mereka semua sepakat bahwa tidak ada imam yang sengaja menyelisihi sunnah Rasulullah, baik dalam perkara kecil maupun besar. Mereka sepenuhnya yakin bahwa semua Muslim pasti mengikuti Rasulullah karena itu adalah kewajiban. Jika ditemukan pendapat seorang imam yang bertentangan dengan hadis shahih, pasti ada alasan mengapa ia tidak mengamalkannya.

Sebagai contoh keteguhan para salaf dalam mengikuti dalil:

Urwah bin Zubair pernah berkata kepada Ibnu Abbas:

“Engkau telah menyesatkan manusia!”

Ibnu Abbas bertanya: “Apa maksudmu, wahai Urwah?”

Urwah menjawab: “Engkau memerintahkan umrah di sepuluh hari pertama Dzulhijjah, padahal tidak ada umrah pada hari-hari itu.”

Ibnu Abbas berkata: “Tidakkah engkau bertanya kepada ibumu?”

Urwah berkata: “Tapi Abu Bakar dan Umar tidak melakukannya!”

Ibnu Abbas menjawab: “Inilah yang membuat kalian binasa! Demi Allah, aku menyampaikan kepada kalian hadis Nabi, tetapi kalian membalasnya dengan perkataan Abu Bakar dan Umar!”

Seorang lelaki dari Syam bertanya kepada Abdullah bin Umar tentang hukum haji tamattu’.

Ibnu Umar menjawab: “Itu halal.”

Orang itu berkata: “Tapi ayahmu (Umar bin Khattab) melarangnya.”

Ibnu Umar menjawab:

“Bagaimana menurutmu jika ayahku melarangnya, tetapi Rasulullah justru melakukannya? Mana yang lebih harus kita ikuti, ayahku atau Rasulullah?”

Orang itu menjawab: “Tentu saja Rasulullah.”

Ibnu Umar berkata: “Rasulullah telah melakukannya!”

Dalam kitabnya, Abu Hasan Muhammad bin Abdul Hadi Al-Hanafi (As-Sindi) mengomentari kejadian ini:

“Perhatikan bagaimana Ibnu Umar menyelisihi ayahnya, padahal ia tahu bahwa ayahnya juga mengetahui hadis tersebut. Artinya, Umar tidak akan menyelisihi hadis kecuali jika ia memiliki dalil yang menurutnya lebih kuat. Meskipun demikian, Ibnu Umar tetap memberi fatwa berbeda dan menegaskan bahwa perkataan ayahnya tidak bisa dijadikan pegangan dalam hal ini.”

Sebagai penutup, bagaimana hukum menyelisihi pendapat guru?

Dari contoh di atas, jelas bahwa tidak ada satu orang pun yang bisa diikuti secara mutlak kecuali Nabi Muhammad. Bahkan, Sayyidina Ibnu Umar menyelisihi pendapat ayahnya (Sayyidina Umar bin Khattab).

Dalam dunia ilmiah, yang diutamakan adalah kejujuran dan kebenaran, bukan figur tertentu, baik itu orang tua maupun ulama. Tidak mengikuti pendapat seseorang bukan berarti tidak menghormatinya, melainkan karena kita menemukan dalil yang lebih kuat.

Sebagaimana perkataan murid Abu Said As-Sirafi:

حراسة العلم أولى من حراسة العلماء

“Menjaga marwah ilmu lebih penting daripada menjaga marwah ulama”.

Dengan demikian, majelis diskusi akan tetap hidup, kritik ilmiah akan terus berkembang, dan yang terpenting, tidak terjadi kejumudan dalam ilmu. Wallahu a‘lam.

+ posts