OpiniPendidikan

Reaktualisasi Dakwah Islam: Peran Lagu Religi dalam Menyebarkan Ajaran Walisongo di Platform Media Sosial

Reaktualisasi Dakwah Islam: Peran Lagu Religi dalam Menyebarkan Ajaran Walisongo di Platform Media Sosial

Proses Islamisasi di Indonesia tidak terlepas dari upaya Walisongo dalam menyebarkan agama Islam, khususnya di tanah Jawa. Walisongo dipercaya sebagai peletak batu pertama Islam di Jawa. Fakta sejarah ini memang benar adanya, dan mustahil terbantahkan. Bahkan, menurut salah satu orang terpengaruh di masa kolonial Belanda masa itu, H.J. Van Den Berg, secara tegas mengatakan, “Adapun yang memimpin penyebaran Islam ini adalah para Wali (Songo). Merekalah yang memimpin pengembangan agama Islam di seluruh Jawa.”
Proses Islamisasi yang dilakukan oleh para Walisongo bisa terbilang cukup mulus dan memberikan dampak positif. Hasil ini tidak terlepas dari strategi dan metode yang mereka gunakan. Sehingga proses Islamisasi tersebut bisa berjalan dengan cepat dan bertahan lama, walaupun di saat yang sama, pengaruh perkembangan zaman sangat besar. Dalam konteks demikian, dikhawatirkan nilai-nilai yang pernah dibawa oleh Walisongo akan terkikis seiring dengan berjalannya waktu.
Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini penulis hendak menawarkan satu buah pemikiran sederhana. Satu tulisan yang akan membahas seputar “peran lagu religi dalam proses reaktualisasi nilai ajaran Walisongo, khususnya di era meluasnya media sosial.” Ide tulisan ini penting kita bahas sehingga sebagai masyarakat Muslim Indonesia, setidaknya kita tidak dengan mudahnya melupakan jasa Walisongo dalam menyebarluaskan ajaran Islam di tanah Nusantara, khususnya tanah Jawa.
Mengenal Walisongo
Kata “Walisongo” berasal dari dua penyusun, “Wali” dan “Songo.” Kata pertama secara sederhana bisa kita pahami sebagai sebutan bagi orang-orang Islam yang dianggap keramat, penyebar agama Islam dan dianggap sebagai kekasih Allah Swt. yang senantiasa menjalankan semua perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
Sedang ketika memahami kata kedua, para Ilmuwan memiliki perbedaan pendapat. Salah satu pendapat menjelaskan bahwa kata “Songo” berasal dari bahasa Arab, yaitu “Tsana” yang berarti terpuji atau mulia. Pendapat lain mengatakan, kata “Songo”berasal dari bahasa Jawa yang artinya Sembilan. Dan pendapat terakhir ini yang menurut penulis memang menjadi pemahaman umum bagi masyarakat Indonesia.
Jumlah sembilan Wali tersebut secara terperinci sebagaimana berikut: Maulana Mali Ibrahim (sunan Gresik), Raden Rahmat (sunan Ampel), Muhammad Ainul Yaqin (sunan Giri), Raden Makhdum Ibrahim (sunan Bonang), Raden Qasim (sunan Drajat), Ja’far Shadiq (sunan Kudus), Raden Sahid (sunan Kalijaga), Raden Umar Said (sunan Muria) dan Syarif Hidayatullah (sunan Gunung Jati).
Strategi Dakwah Walisongo
Sebagaimana yang pernah penulis singgung, salah satu modal sukses Islamisasi tanah Jawa yang dilakukan oleh Walisongo tidak terlepas dari strategi dan metode yang mereka gunakan dalam berdakwah. Mereka menyiarkan ajaran Islam dengan mengikuti budaya lokal yang sedang berlaku saat itu, tanpa menghapus begitu saja. Cara mereka adalah dengan menyelipkan nilai-nilai agama Islam pada budaya lokal, sehingga tanpa sadar masyarakat Jawa akan menerima dengan senang hati.
Cara yang demikian, menurut Nurul Kifayah dan Luthfi di dalam satu jurnal berjudul “Reaktualisasi Dakwah Walisongo pada Era Konsumtif Media Sosial” membuat Islamisasi Walisongo terbilang cukup singkat dan bisa bertahan lebih lama. Ajaran yang diterima dan diaplikasikan oleh masyarakat pada saat itu adalah perpaduan antara nilai-nilai agama Islam dengan kebudayaan lokal. Mereka benar-benar paham mengenai proses berdakwah, sehingga Islam benar-benar menampakkan sisi Rahmatan lil Alamin-nya.
Salah satu Walisongo yang memiliki corak dan model berdakwah menarik adalah sunan Ampel atau Raden Rahmat. Beliau adalah putra Campa yang lahir sekitar tahun 1401. Menurut Saifullah, di dalam salah satu buku berjudul “Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara,” salah satu keidentikan dakwah Sunan Ampel adalah gubahan syair-syair yang beliau lakukan dengan memasukkan unsur Islam dan budaya lokal.
Reaktualisasi Dakwah Walisongo di Era Media Sosial melalui Lagu Religi
Media sosial dan kehidupan masyarakat modern seperti sepasang sepatu yang tidak dapat dipisahkan. Media sosial, meski memberikan efek negatif yang cukup banyak, ternyata memberikan manfaat cukup banyak juga bagi para pendakwah Islam. Sering kali kita temukan materi-materi Islami sebagai bentuk dakwah dan penyebaran nilai-nilai agama Islam.
Dalam konteks demikian, perlu kita menilik satu model dakwah yang cukup menarik, yaitu lagu religi. Artis-artis Islami semacam Veve Zulfikar, Nissa Sabyan dan lain sebagainya, tampil dalam garda terdepan. Apa yang mereka lakukan adalah salah satu bentuk usaha menjadikan model dakwah Walisongo, khususnya apa yang pernah dilakukan oleh Sunan Ampel, yaitu membuat Syair semakin relevan dengan perkembangan zaman, terlebih ketika penggunaan media sosial semakin marak dan meluas.
Pada lagu berjudul “Khadijah” yang dilakukan oleh Veve Zulfikar merupakan karya Zulfikar Basyaiban (sang Ayah). Pada lagu tersebut, seakan penggubah menceritakan sejarah antara Siti Khadijah dengan nabi Muhammad saw. denag suara indah serta paras yang menawan, lagu Khadijah berhasil menarik minat masyarakat Indonesia terhadap cerita yang disampaikan pada lagu tersebut. Langkah yang telah dilakukan oleh Veve Zulfikar ini merupakan salah satu bentuk reaktualisasi dakwah Walisongo melalui media sosial.
Kesimpulan
Arus globalisasi merupakan suatu hal yang kehadirannya tidak bisa kita pungkiri. Kehadirannya tentunya memberikan dampak pada sistem kehidupan masyarakat. Ada sekian aspek kehidupan yang pada akhirnya mengalami perubahan. Tidak terkecuali dalam konteks ini adalah model berdakwah. Perubahan model dakwah ini adalah salah satu bentuk upaya masyarakat muslim menjaga sejarah dakwah Islam di tengah-tengah maraknya pengaruh luar.
Apa yang telah dilakukan oleh artis muslim dalam menciptakan syair-syair bernilai Islami tentunya selaras dengan apa yang dahulu telah dilakukan oleh Walisongo. Model dakwah dengan alus dan bertahap, serta tidak memaksa adalah ciri khas yang dimiliki oleh Walisongo. Ciri khas inilah yang kemudian hendak diaplikasikan kembali oleh artis semacam Veve Zulfikar, Nissa Sabyan dan lainnya sehingga model dakwah Walisongo akan senantiasa relevan menyesuaikan perkembangan zaman. Dalam hal ini kita perlu memberikan apresiasi atas apa yang telah mereka lakukan, yaitu reaktualisasi dakwah Walisongo melalui media sosial.

Penulis:
ari abdi widodo

Redaksi Alkanews

ALKANEWS.COM adalah media digital berbagi informasi, refleksi dan opini sebagai upaya untuk berkontribusi pada kemajuan bangsa, umat dan negara melalui karya tulis pemikiran dan perspektif personal dan akademis. Kontributor umumnya adalah santri, alumni dan civitas akademika Al-Khoirot. Juga terbuka pada kontribusi dari luar. Tulisan dapat berbentuk prosa (refleksi, opini dan esai ilmiah) dan sastra-fiksi (puisi, cerpen dan cerita bersambung atau novel). Bahasa pengantar dapat berupa bahasa Indonesia, Inggris dan Arab.