ArtikelOpiniPendidikan

“MBEROT”: PARADOKS PENDIDIKAN DALAM KELUARGA ANTARA GAYA HIDUP DAN HARAPAN ORANG TUA TERHADAP MADRASAH”

“MBEROT”: PARADOKS PENDIDIKAN DALAM KELUARGA ANTARA GAYA HIDUP DAN HARAPAN ORANG TUA TERHADAP MADRASAH”
Oleh : 1Lailatur Rohanita, 2Muhammad Husni

Kesenian “Mberot” di Malang adalah tradis hiburan yang berakar dari kesenian “Bantengan” yang sering digelar dalam acara seperti pernikahan atau khitanan. Dulu, “mberot” lebih sederhana, tetapi kini berkembang menjadi pertunjukan besar dengan dekorasi megah dan hiburan yang meriah. Meskipun menjadi simbol kegembiraan dan kebersamaan, budaya “mberot” terkadang dianggap berlebihan karena menonjolkan kemewahan dan konsumsi yang bertentangan dengan nilai-nilai kesederhanaan dalam Islam. Hal ini bisa menciptakan ketidaksesuaian antara ajaran agama dan kenyataan sosial yang ada.
Dulu, “mberot” mungkin hanya sebatas kebiasaan segelintir orang. Namun, kini, hampir setiap kampung mengadakan pertunjukan “mberot” setiap malam. Hiburan berlebihan, pesta-pesta yang menguras biaya, dan kecenderungan memamerkan kemewahan seolah menjadi bagian dari identitas sosial. Masyarakat merasa perlu mengadakan acara besar-besaran, lengkap dengan dekorasi megah dan hiburan yang tidak jarang bertolak belakang dengan nilai-nilai kesederhanaan dalam Islam. Bahkan, acara keagamaan pun sering kali terjebak dalam budaya “mberot” ini, di mana peringatan Maulid atau tasyakuran yang seharusnya menjadi momen spiritual malah berubah menjadi ajang pamer kemewahan.
Di sisi lain, orang tua ingin anaknya memiliki pendidikan agama yang kuat. Mereka memilih madrasah agar anak-anaknya bisa belajar mengaji, memahami ajaran Islam, dan tumbuh menjadi pribadi yang berakhlak baik. Karena itulah, banyak orang tua memilih madrasah sebagai tempat belajar anak, dengan harapan pendidikan agama yang kuat bisa membentuk karakter mereka. Namun, bagaimana mungkin anak bisa benar-benar menyerap nilai-nilai agama jika setiap malam mereka melihat budaya yang justru bertentangan dengan ajaran tersebut.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ada kesenjangan antara apa yang di inginkan orang tua dan apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Jika orang tua benar-benar ingin anaknya tumbuh dengan nilai-nilai yang kuat, maka madrasah bukanlah satu-satunya solusi. Pendidikan utama tetap berasal dari rumah, dan keteladanan orang tua adalah kunci utamanya.
Fenomena ini dapat menimbulkan kebingungan bagi anak, karena ada ketidaksesuaian antara apa yang diajarkan di madrasah dan apa yang mereka lihat di rumah. Akibatnya, anak bisa mengalami disonansi kognitif, yaitu konflik antara nilai yang mereka pelajari dan realitas yang mereka alami. Jika tidak dikelola dengan baik, anak bisa menjadi Hipokrit, di mana mereka hanya menerapkan nilai-nilai agama di lingkungan madrasah tetapi tidak dalam kehidupan nyata. Bingung moral, karena tidak ada ketegasan dalam standar pendidikan yang diberikan oleh orang tua. Kurang percaya terhadap pendidikan madrasah, karena melihat ketidakkonsistenan dalam pendidikan di madrasah, baik di raudlatul Athfal, madrasah diniah, madrasah ibtida’iyah, madrasah tsanawiyah maupun madrasah aliyah.
Di era modern ini, madrasah dihadapkan pada tantangan besar. Tidak hanya harus memberikan pendidikan agama yang kuat, tetapi juga harus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Namun, ada satu tantangan yang sering kali lebih sulit dihadapi dibandingkan kurikulum atau metode pengajaran, yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan yang diberikan di madrasah dan pola.
Salah satu dampak dari fenomena ini adalah beban pendidikan moral yang semakin besar di madrasah, padahal sejatinya, pendidikan karakter harus dimulai dari keluarga. Guru madrasah sering kali diharapkan menjadi “penyelamat” karakter anak, padahal mereka hanya menghabiskan beberapa jam sehari bersama siswa. Orang tua ingin anaknya taat beribadah, tetapi di rumah, mereka tidak menciptakan lingkungan yang mendukung kebiasaan tersebut. Guru madrasah berusaha menanamkan nilai-nilai kesederhanaan dan syukur, tetapi di rumah, anak-anak justru terbiasa dengan gaya hidup konsumtif. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan di madrasah tidak akan berjalan maksimal jika tidak ada dukungan dari keluarga.
Realitas yang terjadi Anak diajarkan tentang kesederhanaan di madrasah, tetapi di rumah mereka melihat orang tua sibuk mempersiapkan pesta besar-besaran. Guru mengajarkan pentingnya zuhud dan tidak berlebihan dalam duniawi, tetapi setiap malam mereka melihat panggung hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif. Anak-anak dididik untuk fokus pada ilmu dan ibadah, tetapi mereka tergoda oleh gemerlap budaya “mberot” yang lebih menarik secara visual dan emosional. Kondisi ini membuat anak-anak mengalami konflik batin. Mereka dihimpit dua dunia yang bertolak belakang: nilai-nilai madrasah yang menekankan kesederhanaan dan kehidupan malam yang mengajak mereka pada gaya hidup konsumtif.
Paradoks ini tidak akan selesai jika hanya disadari, tetapi harus diatasi dengan tindakan nyata. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain 1) Membentuk komunitas yang lebih sadar akan nilai-nilai keislaman, sehingga budaya konsumtif dalam masyarakat bisa dikurangi.
2) Menjadikan acara keagamaan lebih bermakna secara spiritual, bukan hanya sekadar ajang pamer atau hiburan semata. 3) Menguatkan peran keluarga dalam pendidikan agama, agar anak tidak hanya mendapatkan nilai-nilai Islam di madrasah, tetapi juga di rumah. 4) Menyeimbangkan antara budaya dan agama, dengan tetap memberikan hiburan yang sehat dan edukatif tanpa harus terjebak dalam “mberot”.
Agar madrasah tetap relevan di era modern, perlu ada kerjasama erat antara pihak sekolah dan orang tua. Beberapa langkah yang bisa diambil adalah 1) Membuka ruang diskusi antara guru dan orang tua, sehingga ada pemahaman yang sama tentang pentingnya keteladanan di rumah. 2) Mendorong program parenting Islami, agar orang tua lebih sadar akan peran mereka dalam membentuk karakter anak. 3) Mengajarkan Islam dengan pendekatan yang membumi, sehingga anak-anak merasa bahwa nilai-nilai agama bukan sekadar teori, tetapi bisa diterapkan dalam kehidupan modern.
Madrasah memang bisa menjadi tempat menanamkan nilai-nilai Islam, tetapi jika lingkungan di rumah dan masyarakat masih bertentangan dengan ajaran tersebut, anak-anak akan kesulitan dalam menginternalisasi nilai-nilai agama. Jika orang tua benar-benar ingin anaknya tumbuh dengan ilmu dan akhlak yang baik, maka mereka juga harus memberikan keteladanan di rumah.
Hanya dengan sinergi antara madrasah, keluarga, dan masyarakat, pendidikan agama bisa berjalan dengan efektif. Jika tidak, maka yang terjadi adalah generasi yang tumbuh dengan nilai agama di sekolah, tetapi kehilangan arah begitu kembali ke rumah dan lingkungannya.

Keyword : Mberot, Madrasah, Paradoks

Lailatur Rohanita
+ posts