Kepesantrenan di Era Disrupsi: Mampukah Bertahan?
Kepesantrenan di Era Disrupsi: Mampukah Bertahan?
Bayangkan sebuah dunia yang tenang dan damai, terlindungi oleh tradisi dan prinsip-prinsip luhur. Santri muda menimba ilmu agama, melantunkan ayat suci, dan menempa diri dalam disiplin ketat di dalamnya. Ini adalah gambaran singkat tentang pesantren, lembaga pendidikan tertua di Indonesia, yang telah memperkuat moral dan spiritual bangsa selama berabad-abad.
Namun, dunia di luar sana berkembang dengan cepat. Disrupsi teknologi seperti gelombang tsunami yang menghancurkan segalanya. Tatanan kehidupan yang mapan diguncang hingga ke akarnya, dan informasi mengalir tanpa batas.
Sekarang, di pusaran zaman, dua dunia yang seolah bertolak belakang ini bertemu. Pesantren, yang dulunya tenang, harus menghadapi arus informasi yang deras dan transformasi yang cepat. Apakah ia akan bertahan lama? Apakah ia dapat menyesuaikan diri tanpa kehilangan identitasnya?
Dalam konteks ini, disrupsi bukan hanya masalah teknologi; itu adalah perubahan fundamental yang membutuhkan perubahan dan transformasi. Dengan segala kekayaan tradisi dan nilai-nilai luhurnya, pesantren memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor dalam menjawab tantangan yang dihadapi masyarakat saat ini. Untuk tetap relevan di era disrupsi saat ini, ia juga harus berani mengubah, meninggalkan kemapanan, dan merangkul perubahan.
Ketika gelombang disrupsi teknologi muncul dengan cepat, itu akan mengubah tatanan kehidupan yang mapan dan memaksa banyak organisasi untuk memperbarui atau mengikuti perkembangan zaman. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren juga terpengaruh oleh perubahan ini. Pertanyaannya, apakah tradisi dapat bertahan di tengah gempuran modernitas yang begitu cepat dan brutal?
Di era disrupsi, pesantren menghadapi banyak masalah yang sangat kompleks. Pertama, arus informasi yang deras melalui media sosial memiliki efek yang baik dan buruk. Di satu sisi, santri memiliki akses lebih mudah ke pengetahuan, tetapi paparan terhadap konten negatif dan pengaruh buruk dari luar menimbulkan ancaman. Beberapa waktu lalu, video santri yang melakukan tindakan kekerasan karena terprovokasi konten media sosial menjadi viral, menunjukkan betapa berbahayanya internet bagi generasi muda.
Kedua, pesantren harus cepat menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi. Sangat penting untuk memiliki kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan zaman, memasukkan teknologi ke dalam proses pembelajaran, dan menguasai keterampilan digital. Pesantren yang tidak memanfaatkan teknologi dengan bijak akan tertinggal dan kehilangan daya saing. Sebaliknya, pesantren yang memanfaatkan teknologi dengan bijak akan menghasilkan generasi murid yang cerdas, berakhlak mulia, dan berdaya saing di seluruh dunia.
Ketiga, gaya hidup modern dan globalisasi dapat mengubah prinsip-prinsip tradisi pesantren. Individualisme, konsumerisme, dan hedonisme menantang jati diri santri. Agar santri tetap berpegang teguh pada ajaran agama dan nilai-nilai luhur bangsa, pesantren harus memperkuat benteng moral dan spiritual mereka.
Namun, ada peluang berharga di balik kesulitan. Pesantren memiliki kekuatan yang kuat, termasuk nilai-nilai keislaman, tradisi keilmuan, dan jaringan alumni yang luas. Mereka dapat memanfaatkan kekuatan ini secara efektif untuk menjadi pelopor dalam menanggapi tantangan zaman. Pesantren dapat membuat model pendidikan yang menggabungkan kemajuan teknologi dan keunggulan tradisi. Melalui pengembangan unit usaha yang berbasis kerakyatan, pesantren juga dapat berfungsi sebagai pusat pemberdayaan ekonomi umat.
Tantangan terbesar bagi para pengasuh dan kiyai pesantren terletak di sini. Untuk menavigasi bahtera kepesantrenan di tengah badai disrupsi, diperlukan kebijaksanaan dan visi yang jauh ke depan. Kepesantrenan harus berubah, memperkuat fondasi dan beradaptasi dengan dinamika zaman, karena hanya dengan cara ini mereka dapat bertahan dan terus berkontribusi pada kemajuan bangsa dan negara.
Bagaimana santri dapat bertahan di tengah gelombang ketidakpastian ini?
Berikut adalah beberapa trik dan saran:
• Santri harus cerdas dalam memilih informasi, selektif dalam menggunakan media sosial, dan tidak mudah terpengaruh oleh konten negatif.
• Santri diharapkan menguasai keterampilan literasi digital dan berpikir kritis untuk menganalisis informasi dan membedakan mana yang benar dan hoaks.
• Santri harus berpegang teguh pada ajaran agama mereka, amalkan nilai-nilai yang baik, dan bentengi diri dari pengaruh negatif.
• Santri dianjurkan berpartisipasi dalam kegiatan positif dan organisasi di luar kelas mereka untuk meningkatkan bakat
Pesantren memainkan peran penting dalam menyiapkan generasi yang kompetitif di era disrupsi. Pesantren dapat terus membantu kemajuan negara dengan beradaptasi dan bertransformasi. Kita bertanggung jawab atas masa depan pesantren. Agar warisan luhur ini tetap relevan dan bermanfaat bagi generasi mendatang, mari kita jaga dan lestarikannya.
Penulis :
Nurul Aini, S.M (Pascasarjanan Universitas Alqolam Malang)