ArtikelKeislaman

Tradisi Idulfitri di Indonesia serta Hukumnya Menurut Kacamata Islam

Berbicara tradisi, atau lebih akrab disebut sebagai kebiasaan selalu menarik dan unik sebagai bahan jagongan. Di saat suatu golongan masyarakat bertatap muka dengan golongan masyarakat lainnya kerap kali mereka saling sharing, tanya-jawab seputar kebiasaan, adat, tradisi, dan budaya di tempat dimana mereka tinggal.

Disclaimer dulu, sebelum berbicara lebih jauh tentang topik ini, tidak ada ruginya untuk mengetahui terlebih dahulu apa itu tradisi. Mengutip dari Wikipedia, tradisi atau kebiasaan (bahasa Latin: traditio, “diteruskan”) adalah sebuah bentuk perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama dan cenderung terjadi secara tidak sadar. Kebiasaan yang diulang-ulang ini dilakukan secara terus menerus karena dinilai bermanfaat bagi sekelompok orang, sehingga sekelompok orang tersebut melestarikannya.

Sederhananya, tradisi itu kebiasaan yang tanpa dipelajari, tanpa harus diketahui sudah dilakukan terlebih dahulu. Kenapa demikian? karena perbuatan ini dilakukan secara spontanitas mengikuti turun-temurun dengan dalih ‘neneng moyang,’ atau kalau konteksnya bumi Pasundan alias suku Sunda, penduduknya menyebutnya dengan istilah “ti karuhuna tos kitu”.

Berdasarkan prolog di atas, penulis ingin sedikit berbagi pengetahuan, ingin mengajak pembaca yang budiman untuk berdiskusi seputar tradisi di Indonesia, lebih tepatnya tradisi-tradisi warga Indonesia saat momen Idulfitri berlangsung, kebiasaan apa saja yang biasa mereka lakukan saat Idulfitri, entah sebelum ataupun sesudah?

  1. Mengucapkan ‘Selamat Hari Raya Idulfitri Sesama Muslim’

Ucapan selamat hari raya Idulfitri bukan hal yang tabu di mata sosial pada umumnya. Pada dasarnya ucapan ini bermaksud baik karena mengandung doa yang baik di dalamnya. Ulukan ‘selamat hari raya’ sesama muslim artinya mendoakan baik kepada mereka karena telah berhasil dan lulus menuju panggung kemenangan, dimana semua umat muslim telah berjuang dalam memerangi hawa nafsu mereka selama sebulan Ramadan penuh.

Dasar Bolehnya Mengucapkan ‘Selamat Hari Raya’ terhadap sesama Muslim

Dalam agama Islam, ucapan ‘selamat’ dikenal dengan sebutan, “التَّهْنِئَةِ”. Pembahasan ini dijelaskan oleh para ulama di berbagai literatur kitab klasik secara detail dengan klasifikasinya. Bukan hanya ucapan selamat hari raya saja, ada banyak ucapan selamat yang penjelasanya sudah pernah terjadi di era tabi’in, sahabat, bahkan rasulullah saw.

Menurut penjelasan syekh سليمان بن عمر بن منصور العجيلي الأزهري dalam kitabnya yang berjudul حاشية الجمل (Hasyiah al-Jamal) beliau mengatakan:

(فَائِدَةٌ) مِمَّا يَتَعَلَّقُ بِهَذَا الْبَابِ التَّهْنِئَةُ بِالْعِيدِ وَقَدْ قَالَ الْقَمُولِيُّ لَمْ أَرَ لِأَصْحَابِنَا كَلَامًا فِي التَّهْنِئَةِ بِالْعِيدِ وَالْأَعْوَامِ وَالْأَشْهُرِ كَمَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ لَكِنْ نَقَلَ الْحَافِظُ الْمُنْذِرِيُّ عَنْ الْحَافِظِ الْمَقْدِسِيَّ أَنَّهُ أَجَابَ عَنْ ذَلِكَ بِأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَالُوا مُخْتَلِفِينَ فِيهِ وَاَلَّذِي أَرَاهُ أَنَّهُ مُبَاحٌ لَا سُنَّةٌ فِيهِ وَلَا بِدْعَةٌ اهـ وَأَجَابَ عَنْهُ شَيْخُ الْإِسْلَامِ حَافِظُ عَصْرِهِ حَجّ بَعْدَ اطِّلَاعِهِ عَلَى ذَلِكَ بِأَنَّهَا مَشْرُوعَةٌ وَاحْتَجَّ لَهُ بِأَنَّ الْبَيْهَقِيَّ عَقَدَ لِذَلِكَ بَابًا فَقَالَ: بَابُ مَا رُوِيَ فِي قَوْلِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ فِي يَوْمِ الْعِيدِ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك وَسَاقَ مَا ذَكَرَهُ مِنْ أَخْبَارٍ وَآثَارٍ ضَعِيفَةٍ لَكِنَّ مَجْمُوعَهَا يُحْتَجُّ بِهِ فِي مِثْلِ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ وَيُحْتَجُّ لِعُمُومِ التَّهْنِئَةِ لِمَا يَحْدُثُ مِنْ نِعْمَةٍ أَوْ يَنْدَفِعُ مِنْ نِقْمَةٍ بِمَشْرُوعِيَّةِ سُجُودِ الشُّكْرِ وَالتَّعْزِيَةِ وَبِمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ «عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ فِي قِصَّةِ تَوْبَتِهِ لَمَّا تَخَلَّفَ عَنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَنَّهُ لَمَّا بُشِّرَ بِقَبُولِ تَوْبَتِهِ وَمَضَى إلَى النَّبِيِّ ﷺ قَامَ إلَيْهِ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ فَهَنَّأَهُ وَأَقَرَّهُ النَّبِيُّ ﷺ» اهـ. شَرْحُ م ر وَقَوْلُهُ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك أَيْ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِمَّا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ فِي التَّهْنِئَةِ وَمِنْهُ الْمُصَافَحَةُ وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ فِي يَوْمِ الْعِيدِ أَنَّهَا لَا تُطْلَبُ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ وَمَا بَعْدَ يَوْمِ عِيدِ الْفِطْرِ لَكِنْ جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّهْنِئَةِ فِي هَذِهِ الْأَيَّامِ وَلَا مَانِعَ مِنْهُ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ التَّوَدُّدُ وَإِظْهَارُ السُّرُورِ وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ أَيْضًا فِي يَوْمِ الْعِيدِ أَنَّ وَقْتَ التَّهْنِئَةِ يَدْخُلُ بِالْفَجْرِ لَا بِلَيْلَةِ الْعِيدِ خِلَافًا لِمَا بِبَعْضِ الْهَوَامِشِ اهـ. ع ش عَلَيْهِ.

Imam Al-Qamuli mengatakan tidak menemukan pembahasan khusus dalam tradisi para sahabat tentang ucapan selamat hari raya. Namun, imam Al-Hafidz Al-Maqdisi menyatakan bahwa ucapan tersebut hukumnya mubah, dan bukan termasuk sunnah atau bid’ah. Sementara imam Ibnu Hajar berpendapat bahwa ucapan selamat hari raya adalah hal yang disyariatkan, hal ini didukung oleh riwayat-riwayat meskipun lemah tetapi dapat menjadi pegangan dalam hal ini. Dari sini, ada sebuah kisah menarik yang dapat dijadikan pedoman umat muslim, sebagai parameter kehidupan bersosial agar tidak melewati batasan-batasan syariat sebagaimana mestinya.

Telah disebutkan dalam dua kitab shahih (Bukhari dan Muslim) tentang kisah Ka’ab bin Malik dalam peristiwa taubatnya ketika ia tidak ikut serta dalam Perang Tabuk. Ketika ia diberi kabar gembira bahwa taubatnya diterima, ia pergi menemui Nabi ﷺ, lalu Thalhah bin Ubaidillah berdiri menyambutnya dan memberi ucapan selamat, dan Nabi ﷺ menyetujuinya.'”

Pada waktu yang sama, “Ucapan seperti تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك أَيْ وَنَحْوُ ذَلِكَ yang berarti ‘Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan Anda’ dan ucapan-ucapan sejenisnya yang telah menjadi kebiasaan dalam memberikan ucapan selamat, termasuk berjabat tangan, maka hukumnya diperbolehkan. Dipahami dari perkataan tentang hari raya bahwa ucapan selamat ini tidak dianjurkan pada hari-hari Tasyriq atau setelah hari Idul Fitri, tetapi kebiasaan masyarakat memberikan ucapan selamat pada hari-hari tersebut tidak dilarang, karena tujuan utamanya adalah untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan menunjukkan kebahagiaan.” Adapun waktunya sangat dianjurkan dimulai saat fajar hari raya, tetapi jika kebiasaan masyarakat melakukannya sejak malam, hal ini tidak dilarang dalam agama.

Pandangan imam Al-Birmawi terhadap ucapan selamat: ‘Ucapan selamat pada hari raya, bulan, dan tahun adalah hal yang dianjurkan. Hal ini dikuatkan dengan disyariatkannya sujud syukur ketika mendapat nikmat serta kisah Ka’ab dan dua sahabatnya saat diberi kabar gembira bahwa taubatnya diterima setelah ia tidak ikut serta dalam Perang Tabuk, dan ucapan selamat Abu Thalhah kepadanya. Dianjurkan pula untuk menjawab ucapan selamat tersebut dengan semisal, “Semoga Allah menerima (amal) dari Anda sekalian, semoga Allah menghidupkan Anda untuk hal-hal semisal ini setiap tahun, dan semoga Anda dalam keadaan baik.”‘”

  1. Berjabat Tangan Usai Salat Idulfitri

Berjabat tangan setelah salat ied sudah sekian lama menjadi kebiasaan penduduk muslim di Indonesia. Bila ditinjau lebih dekat, sering sekali kita berjabat tangan setelah salat ied, baik Idulfitri maupun Iduladha. Rasa-rasanya ada yang kurang bila jamaah Indonesia tidak mengulurkan tangan usai uluk salam yang kedua setelah salat. Di sebagian wilayah, seperti di Jawa Timur misalnya, mereka selalu terbiasa berjabat tangan bukan hanya di momen dua hari raya saja, bahkan mereka terbiasa dengan perbuatan tersebut di setiap setelah salat lima waktu. Inilah salah satu aspek yang sepertinya jarang ditemui di wilayah-wilayah tertentu yang ada di Indonesia.

Namun demikian, seringkali jamaah Indonesia, khususnya jamaah pria ketika bertemu dengan jamaah wanita setelah salat ied mengalami kondisi, dimana ada aturan syariat yang terlalu ketat atau malah justru iman kita yang terlalu mendewakan istilah ‘moderat’ sebagai tameng? Mari kita ulas di sini!

Dalil Dasar Tentang Berjabat Tangan

Dasar jabat tangan dijelaskan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar sebagai berikut:

قال النووي في الأذكار: اعلم أن المصافحة مستحبة عند كل لقاء، وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صلاة الصبح والعصر، فلا أصل له في الشرع على هذا الوجه ولكن لا بأس به، فإن أصل المصافحة سنة، وتقييدها بما بعد الصبح والعصر عادة كانت في زمانه، وإلا فعقب الصلوات كلها كذلك

Menurut Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar, berjabat tangan adalah hal yang disunnahkan setiap kali bertemu. Adapun kebiasaan masyarakat berjabat tangan setelah shalat Subuh dan Ashar, hal itu tidak memiliki dasar dalam syariat dengan cara demikian. Namun, tidak ada masalah melakukannya, karena asal berjabat tangan adalah sunnah. Kebiasaan membatasi berjabat tangan hanya setelah Subuh dan Ashar adalah tradisi pada zamannya, meskipun sebenarnya hal ini juga dapat dilakukan setelah semua shalat.

Sementara pendapat yang paling kuat adalah pendapatnya imam Abu Hanifah yang mengatakan boleh secara mutlak, termasuk setelah salat. Adapun pendapatnya sebagai berikut:

والراجح عند الحنفية جواز المصافحة مطلقًا ولو بعد الصلوات. وكره بعض الحنفية المصافحة بعد الصلاة. وتكره مصافحة من به عاهة كجذام أو برص

Menurut mazhab Hanafi, hukum berjabat tangan, termasuk setelah shalat hukumnya boleh secara mutlak. Sebagian ulamanya memakruhkan berjabat tangan setelah shalat. Dan mereka memakhruhkan berjabat tangan dengan orang yang memiliki penyakit seperti kusta atau vitiligo. Larangan ini didasarkan pada faktor kesehatan dan kemungkinan dampak pada orang lain.

Berjabat Tangan Antara Laki-Laki dan Wanita yang Bukan Mahram Sebagai Tradisi Saling Meminta Maaf di Momen 1 Syawal

Di tengah haru-biru kebahagian pada hari kemenangan, ternyata masih banyak keraguan-keraguan jamaah akan hal ini. Saking bingungnya, sebagian besar orang awam memutuskan untuk mengabaikannya bahkan tidak perduli akan pandangan agama terkait hal ini. Padahal hukum ini jelas-jelas disinggung tegas oleh agama di berbagai liratur kitab salaf. Bagaimana mana pandangannya?

Menurut jumhur ulama, kecuali madzhab Syafi’i berpendapat, bahwa berjabat tangan antar lawan jenis hukumnya boleh asalkan tua. Sebagaimana keterangan dari Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam kitabnya yang berjudul Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 3, halaman 567, sebagai berikut:

وتحرم مصافحة المرأة، لقوله صلّى الله عليه وسلم: «إني لا أصافح النساء». لكن الجمهور غير الشافعية أجازوا مصافحة العجوز التي لا تشتهى، ومس يدها، لانعدام خوف الفتنة، قال الحنابلة: كره أحمد مصافحة النساء، وشدد أيضاً حتى لمحرم، وجوزه لوالد، وأخذ يد عجوز شوهاء.

Artinya, jabat tangan dengan perempuan haram berdasarkan sabda Rasulullah saw yang berbunyi, ‘Aku tidak berjabat tangan dengan perempuan,’ (H.R. Al-Muwaththa’, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i). Tetapi mayoritas ulama selain madzhab Syafi’I membolehkan jabat tangan dan sentuh tangan dengan perempuan tua yang tidak bersyahwat karena tidak khawatir fitnah. Hanya saja menurut madzhab Hanbali memakruhkan jabat tangan dengan perempuan dan melarang keras, termasuk dengan yang mahram. Tetapi Madzhab Hanbali membolehkan jabat tangan bagi seorang bapak dengan anaknya dan membolehkan jabat tangan perempuan tua–maaf–yang buruk rupa.

Adapun pandangan madzhab Syafi’i, berjabat tangan dengan lawan jenis dan menatapnya hukumnya adalah haram, sekalipun perempuan tua. Akan tetapi, madzhab Syafi’i membolehkan jabat tangan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya dengan catatan dihalangi semisal sarung tangan sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli berikut ini:

وحرم الشافعية المس والنظر للمرأة مطلقاً، ولو كانت المرأة عجوزاً. وتجوز المصافحة بحائل يمنع المس المباشر

Perbedaan Ulama Seputar Hukum Jabat Tangan dengan Perempuan Muda yang Bukan Mahram

Mayoritas ulama, mulai dari ulama madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali dalam riwayat pilihan, serta Ibnu Taimiyah sepakat bahwa berjabat tangan dengan perempuan muda yang bukan mahram hukumnya haram. Tetapi ulama dari madzhab Hanafi memberikan catatan penting bahwa keharaman itu sifatnya tidak mutlak, artinya ada ilat dimana kondisi tersebut berakibat menjadi haram apabila perempuan muda tersebut dapat menimbulkan syahwat, keterangan yang dijelaskan dalam kitab Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, sebagaimana berikut:

وَأَمَّا مُصَافَحَةُ الرَّجُل لِلْمَرْأَةِ الأجْنَبِيَّةِ الشَّابَّةِ فَقَدْ ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الرِّوَايَةِ الْمُخْتَارَةِ، وَابْنُ تَيْمِيَّةَ إِلَى تَحْرِيمِهَا، وَقَيَّدَ الْحَنَفِيَّةُ التَّحْرِيمَ بِأَنْ تَكُونَ الشَّابَّةُ مُشْتَهَاةً، وَقَال الْحَنَابِلَةُ : وَسَوَاءٌ أَكَانَتْ مِنْ وَرَاءِ حَائِلٍ كَثَوْبٍ وَنَحْوِهِ أَمْ لاَ

Artinya, perihal jabat tangan seorang laki-laki dengan perempuan muda bukan mahram, menurut ulama Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali dalam riwayat pilihan, serta Ibnu Taimiyah sepakat akan keharamannya. Tetapi Ulama Madzhab Hanafi memberikan catatan keharaman itu bila perempuan muda tersebut dapat menimbulkan syahwat. Sedangkan Madzhab Hanbali mengatakan, keharaman itu sama saja apakah jabat tangan dilakukan dengan alas seperti pakaian, sejenisnya, atau tanpa alas.

Berarti pemahaman sebaliknya, jika yang terjadi di masyarakat bahwa berjabat tangan dengan perempuan muda yang bukan mahram setelah salat Idulfitri tidak menimbulkan syahwat, tidak mengundang hubungan berlebihan dsb, maka menurut madzhab Hanafi diperbolehkan. Tapi sekali lagi, keterangan ini kalau ditarik benang merahnya adalah idealnya dihindari sebisa mungkin, bila terpaksa alias keadaan terpaksa maka bisa kita bisa mensiasatinya dengan mengikuti pendapatnya imam Syafii yang menggunakan kain sebagai penghalang tersentuhnya kulit secara langsung. Wallahu A’lam bis Shawab..

 

+ posts

Santri asal Bandung, namun lebih lama hidup di kotanya orang. Lebih tepatnya, pada pertengahan tahun 2016, ia berunjuk gigi di hadapan publik dengan keberadaannya di ujung timur pulau Jawa.

Soal sekarang, Alhamdulillah masih duduk di bangku yang tidak umumnya orang duduki. Maksudnya, status masih pelajar tingkat Ma'had Aly di Pondok Pesantren Al-Khoirot dan belum menikah.

Kebetulan, dia juga sedang menempuh studi S1 di Universitas Al-Qolam Malang, jika malas baca bisa disingkat menjadi UQM, begitu katanya.

Itu saja mungkin, selebihnya bisa berkunjung ke rumahnya.

Fauzan Taqiyuddin

Santri asal Bandung, namun lebih lama hidup di kotanya orang. Lebih tepatnya, pada pertengahan tahun 2016, ia berunjuk gigi di hadapan publik dengan keberadaannya di ujung timur pulau Jawa. Soal sekarang, Alhamdulillah masih duduk di bangku yang tidak umumnya orang duduki. Maksudnya, status masih pelajar tingkat Ma'had Aly di Pondok Pesantren Al-Khoirot dan belum menikah. Kebetulan, dia juga sedang menempuh studi S1 di Universitas Al-Qolam Malang, jika malas baca bisa disingkat menjadi UQM, begitu katanya. Itu saja mungkin, selebihnya bisa berkunjung ke rumahnya.