Tidak Obral janji Tidak Menang
Setiap lima tahun, pesta demokrasi menampilkan pemandangan yang tak terhindarkan: serbuan janji-janji manis dan tumpukan sampah visual. Namun, yang membedakan adalah bahwa janji-janji tersebut tidak hanya diucapkan untuk mendapatkan dukungan atau suara, tetapi juga untuk memenangkan kekuasaan yang akan berdampak selama lima tahun ke depan, baik di tingkat nasional maupun lokal. Oleh karena itu, penting untuk menilai dengan cermat apakah janji-janji dalam siklus lima tahunan ini memang sesuai, pantas, dan masuk akal. Artinya, kita harus berhati-hati agar janji-janji yang disampaikan tidak hanya berlebihan dan tidak realistis.
Ironisnya, pepatah “kalau gak janji gak menang” atau “kalau gak nggombal gak menang” di era pesta demokrasi semakin meruncing. Pesta demokrasi tidak hanya identik dengan janji-janji berlimpah, tetapi juga dengan serangan-serangan sengit. Di balik kemeriahan pesta demokrasi, kompleksitasnya tidak boleh diabaikan. Hal ini penting untuk diperhatikan agar tatanan demokrasi tidak semakin terkikis. Di sisi lain, tingkat kegairahan masyarakat terhadap pesta demokrasi itu sendiri juga perlu diperhatikan. Rentang waktu yang singkat bisa membuat kejenuhan masyarakat dalam mensukseskan pesta demokrasi.
Baca juga: Gemar Pamer Kekayaan, Bikin Sulit Dapat Teman?
Namun, kekurangcermatan para pemenang dari pesta demokrasi ini, yang akhirnya mengarah pada kasus korupsi, juga membuat calon pemilih merasa jengah. Oleh karena itu, tidak bijaksana jika kita hanya menyalahkan golput, karena sebagian dari mereka mungkin melakukannya sebagai antisipasi terhadap hasil pesta demokrasi. Kita membutuhkan kematangan dan kedewasaan dari semua pihak yang terlibat dalam pesta demokrasi. Selain itu, praktik obral janji sebaiknya dihindari, karena di era sekarang, jejak digital sangat mudah untuk diikuti. Pesta demokrasi seharusnya bukan menjadi panggung untuk memanjakan diri dengan janji-janji semata.
Dalam kaitannya dengan siklus lima tahunan, obral janji dapat dilihat dalam berbagai bentuk iklan dan materi kampanye di seluruh daerah. Beberapa janji mungkin telah dipahami oleh masyarakat, seperti janji layanan gratis yang sebenarnya tidak memungkinkan untuk diwujudkan karena berbagai faktor mendasar. Oleh karena itu, penting untuk mengurangi jumlah janji yang berlebihan, baik dari calon legislatif maupun calon presiden atau wakil presiden. Alasannya sederhana, perilaku seperti itu tidak mendidik dan cenderung mempermainkan publik. Maka dari itu, kita dapat belajar dari pengalaman lima tahunan ini dan KPU atau KPUD dapat lebih selektif dalam menilai kampanye yang pantas.
Teori tentang kelayakan, pantas, dan masuk akal adalah hal yang mendasar dalam perilaku manusia. Oleh karena itu, penting untuk tidak membiarkan tampilan visual yang bombastis hanya untuk memenangkan suara melalui coblosan atau contrengan di bilik suara. Oleh karena itu, semua calon legislatif dan pasangan calon presiden dan wakil presiden seharusnya lebih bijak dan arif dalam kampanye mereka, sehingga tidak ada lagi sampah visual yang berserakan di sepanjang jalan akibat janji-janji palsu. Masyarakat sadar bahwa mayoritas dari janji-janji itu hanyalah omong kosong, dan mereka semakin muak dengan hal tersebut. Yang lebih penting adalah kemampuan untuk memenuhi janji, bukan hanya pandai dalam mengobral janji.
Pecinta Vespa klasik, suka otak atik sembarang mulai dari CorelDraw, Adobe Premiere, Photoshop tapi belum pro juga.