Senandung Luka di Tengah Merah Putih
Agustus seharusnya menjadi bulan penuh syukur dan bangga. Bulan ketika merah putih dikibarkan tinggi, bukan hanya di tiang-tiang bambu kampung, tetapi juga di dada setiap rakyat Indonesia. Tapi tidak tahun ini. Agustus 2025 menjadi lembaran kelam dalam sejarah bangsa. Sejak awal bulan, udara sudah berbau kegelisahan. Di setiap sudut kota, spanduk tuntutan digantung rakyat. Suara rakyat tak lagi disalurkan lewat forum-forum resmi — melainkan lewat teriakan, peluh, bahkan darah yang menetes di jalanan. Demo demi demo pecah. Tidak hanya di Jakarta, tapi di seluruh negeri. Dari Banda Aceh hingga Merauke, rakyat bersatu dalam satu kata: cukup!
Korupsi yang tak kunjung tuntas, pejabat yang makin pongah, dan hukum yang semakin tumpul ke atas membuat rakyat merasa dikhianati. Kepercayaan telah runtuh. Mereka yang dulu diamanahi untuk menjaga keadilan, justru menelannya mentah-mentah demi kekuasaan. Wajah-wajah pejabat tertawa di televisi, sementara anak-anak di pelosok menangis karena tak bisa sekolah. Di tengah parade kemerdekaan, rakyat justru harus berbaris di depan gedung-gedung pemerintah, bukan untuk merayakan, tapi untuk menggugat. Merah putih tetap berkibar, namun kali ini tak hanya mewakili semangat, tapi juga luka yang menganga.
Di banyak daerah, demonstrasi berubah menjadi jeritan. Gas air mata, peluru karet, bahkan kekerasan aparat menjadi makanan harian. Ibu-ibu menangis mencari anaknya yang belum pulang. Mahasiswa dipukuli saat menyuarakan nurani. Petani ditangkap karena menolak lahannya diambil. Pejuang lingkungan dibungkam. Semua ini terjadi bukan di negeri jajahan, tapi di tanah air sendiri. Hancurlah makna kemerdekaan ketika rakyat sendiri merasa dijajah oleh sistem yang timpang.
80 tahun Indonesia merdeka, namun suara keadilan masih tercekat di tenggorokan. “Merdeka” menjadi slogan kosong yang hanya nyaring di televisi, tetapi sunyi di meja makan rakyat. Di akhir Agustus, tidak ada pesta rakyat, hanya doa-doa lirih agar bulan berikutnya tidak lagi berdarah. Sebab, terlalu banyak luka yang belum dijahit. Terlalu banyak air mata yang jatuh, tanpa ada yang peduli.
Menurut saya, Agustus 2025 bukan hanya menjadi pengingat, tapi peringatan. Bahwa jika kekuasaan tetap tuli, maka rakyat akan terus berseru — dan bisa saja, suatu hari, suara itu bukan lagi sekadar teriakan, tapi gelombang besar yang mengguncang fondasi negeri ini. Senandung luka ini bukan untuk ditangisi selamanya, tapi untuk disadari, agar bangsa ini tak terus mengulang duka yang sama di tengah kibaran merah putih.
Nashrul Mu'minin, asal Lamongan, Jawa Timur. Lahir 21 Februari 2003, impian penulis dan dosen. Perjalanan hidupku terukir dalam kata-kata, Menginspirasi dunia dengan impian kubangun.


