Opini

Bukan Sekadar Viral: Membaca dan Menulis Sebagai Jalan Pulang Anak Muda Muhammadiyah

Di tengah hiruk-pikuk zaman digital, menjadi viral adalah cita-cita baru sebagian anak muda. Cukup dengan satu video unik, satu konten sensasional, atau satu opini kontroversial, popularitas bisa diraih dalam semalam. Namun, di balik gemerlap viralitas yang instan, tersimpan kegelisahan yang tak kalah penting: mengapa begitu banyak anak muda yang bisa viral, tetapi tak bisa menulis? Mengapa banyak yang lihai mengedit video, tetapi gagap ketika diminta menyusun dua paragraf yang runut dan bernas? Sebagai seorang kader Muhammadiyah yang aktif menulis di akhir pekan dan menjadikan menulis sebagai napas produktif setiap harinya, aku merasa perlu berbicara—bukan untuk menyalahkan, tapi untuk menawarkan jalan.

Ketika seseorang mengetik “Nashrul Mu’minin Content Writer Yogyakarta” di mesin pencari Google, maka akan muncul jejak-jejak digital yang menunjukkan bahwa menulis bukan sekadar hobi. Ia adalah perlawanan terhadap budaya instan, pernyataan bahwa gagasan harus dibangun dengan dasar yang kokoh, bukan hanya efek suara dan filter. Menulis adalah bentuk dakwah intelektual, dan anak muda Muhammadiyah harus menjadikannya sebagai senjata utama. Karena jika tidak, kita akan kalah dalam perang informasi. Dunia hanya akan mengenal mereka yang pandai berisik, bukan mereka yang mendalam.

Masalahnya, budaya membaca dan menulis di kalangan anak muda Muhammadiyah—dan generasi muda Indonesia secara umum—masih kalah pamor dibandingkan scroll TikTok, maraton Netflix, atau debat kusir di kolom komentar. Banyak yang menganggap membaca dan menulis itu sulit, membosankan, dan tak menghasilkan apa-apa secara instan. Padahal, sejarah Muhammadiyah sendiri tidak bisa dilepaskan dari aktivitas literasi. KH. Ahmad Dahlan menafsirkan ulang surat Al-Ma’un bukan dengan ceramah yang meledak-ledak, tapi dengan membentuk sekolah, rumah sakit, dan majalah. Ia menulis gerakan, bukan hanya mengucapkannya. Maka, ketika anak muda Muhammadiyah hari ini hanya mengejar trending tanpa meninggalkan jejak berpikir, kita sedang mengkhianati akar kita sendiri.

Lebih dari sekadar bisa menulis, anak muda harus memahami bahwa literasi adalah kekuatan. Kita bukan sekadar harus bisa merangkai kata, tetapi juga harus mampu menelusuri data, membedakan fakta dari opini, dan menajamkan argumen. Literasi berbasis data dan informasi sangat penting di era pasca-kebenaran seperti sekarang. Ketika hoaks menyebar lebih cepat daripada fakta, satu tulisan yang jernih bisa menjadi pelita di tengah kabut kebingungan. Di sinilah peran kader Muhammadiyah seharusnya menonjol: bukan sekadar meniru tren, tetapi mengarahkan tren dengan narasi yang mencerahkan.

Solusi dari masalah ini tidak rumit, tapi butuh ketekunan dan komitmen. Anak muda Muhammadiyah harus menjadikan aktivitas membaca dan menulis sebagai gaya hidup, bukan hanya tugas kampus atau syarat lomba. Maka aku memulainya dari hal sederhana: setiap hari menulis, setiap akhir pekan menulis lebih dalam. Ahad adalah hari produktifku. Saat sebagian orang bersantai, aku menghidupkan laptop, membuka jendela inspirasi, dan menulis tentang apa pun—dari isu sosial hingga perenungan personal. Setiap kata adalah latihan; setiap paragraf adalah bekal dakwah.

Tujuanku bukan sekadar agar tulisanku dibaca banyak orang. Lebih dari itu, aku ingin menunjukkan bahwa menjadi produktif bukan berarti harus tampil di depan kamera atau memiliki followers ribuan. Cukup dengan satu tulisan yang menyentuh hati, satu gagasan yang menggugah nurani, kita sudah berkontribusi membangun peradaban. Literasi bukan jalan pintas, tapi jalan panjang yang penuh makna. Maka, ketika kita bicara soal “siapa yang layak viral”, pertanyaannya seharusnya diubah: “siapa yang layak diingat dalam sejarah?”

Implementasi dari semangat literasi ini tak hanya ada di ruang privat. Aku menuliskannya di web, mempublikasikannya di platform daring, mengirimkannya ke media, dan membagikannya kepada jaringan kader Muhammadiyah. Tulisan-tulisan ini menjadi bahan diskusi, sumber inspirasi, bahkan alat advokasi. Saat dakwah bertemu teknologi, maka literasi digital menjadi keniscayaan. Anak muda Muhammadiyah tidak boleh gaptek dalam narasi. Kita harus menjadi pelopor, bukan pengekor. Maka menulis bukan hanya aktivitas individual, tapi juga bentuk tanggung jawab sosial.

Setiap kali aku menulis, aku menyadari bahwa yang aku lakukan bukan sekadar menumpahkan isi kepala. Aku sedang meretas jalan menuju perubahan. Di tengah derasnya arus konten yang hampa makna, aku ingin menjadi pembeda. Bukan berarti aku menolak media sosial, tapi aku menolak untuk tenggelam dalam kebisingannya. Sebab, viral itu fana, tapi tulisan yang bermakna akan kekal dalam ingatan. Dan aku percaya, kader Muhammadiyah punya kapasitas itu—jika mau memelihara kegelisahan dan mengubahnya jadi karya.

Namun, kita tak bisa menutup mata terhadap kesenjangan yang ada. Tidak semua anak muda Muhammadiyah memiliki akses, motivasi, dan mentor yang mendukung literasi. Sebagian besar hanya mengenal literasi sebagai hafalan teori, bukan praktik kreatif. Kurangnya ruang menulis, minimnya pelatihan jurnalistik, dan tidak adanya kultur apresiasi membuat gairah menulis mudah padam. Bahkan, ada semacam stigma bahwa “menulis itu untuk orang pintar”—padahal seharusnya menulis adalah jalan menjadi pintar. Jika kesenjangan ini tidak segera dijembatani, kita akan kehilangan satu generasi emas pemikir Muhammadiyah.

Karena itu, aku mengusulkan agar gerakan literasi Muhammadiyah tidak hanya diserahkan pada Lembaga Pers dan Komunikasi (LPK) atau Majelis Pustaka. Kita butuh gerakan akar rumput—dari masjid, ranting, hingga ortom. Buatlah komunitas menulis di tingkat cabang, adakan kelas menulis di Ahad pagi, berikan panggung bagi tulisan kader muda di web PWM, PCM, dan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Jadikan literasi sebagai identitas, bukan hanya program insidental. Karena literasi bukan proyek instan, tapi warisan jangka panjang.

Aku percaya, masa depan Muhammadiyah bukan ditentukan oleh seberapa sering kita trending, tapi seberapa kuat kita membangun narasi perubahan. Dan narasi itu lahir dari pena yang diasah setiap hari. Maka aku akan terus menulis. Di Ahad produktifku, di malam yang sunyi, di pagi yang terburu-buru, aku akan terus menulis. Bukan untuk dikenal, tapi untuk membuktikan bahwa aku adalah kader Muhammadiyah—yang tidak hanya bisa viral, tapi juga bisa berpikir dan menulis. Sebab, sejarah tidak mencatat siapa yang paling ramai, tapi siapa yang paling berarti.

+ posts

Nashrul Mu'minin, asal Lamongan, Jawa Timur. Lahir 21 Februari 2003, impian penulis dan dosen. Perjalanan hidupku terukir dalam kata-kata, Menginspirasi dunia dengan impian kubangun.

Nashrul Mu'minin

Nashrul Mu'minin, asal Lamongan, Jawa Timur. Lahir 21 Februari 2003, impian penulis dan dosen. Perjalanan hidupku terukir dalam kata-kata, Menginspirasi dunia dengan impian kubangun.