ArtikelPolitik

Transparansi Politik dan Tantangan Demokrasi Indonesia

Transparansi Politik dan Tantangan Demokrasi Indonesia

nashrul mu’minin content writer yogyakarta

Transparansi dalam politik Indonesia kembali menjadi sorotan setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) membatalkan aturan tentang kerahasiaan dokumen syarat Capres-Cawapres, khususnya ijazah. Polemik ini memunculkan perdebatan besar: apakah kerahasiaan dokumen penting untuk melindungi privasi, atau justru menghambat hak publik mengetahui rekam jejak calon pemimpin? Publik jelas membutuhkan kepastian bahwa calon yang maju adalah figur yang kredibel dan jujur. Di sisi lain, isu privasi juga tidak bisa disepelekan. Ketegangan antara hak publik dan hak individu inilah yang menggambarkan kompleksitas demokrasi Indonesia hari ini.

Tujuan utama transparansi bukan sekadar membuka dokumen administratif, melainkan memperkuat kepercayaan publik. Kepercayaan adalah modal utama demokrasi. Jika kepercayaan runtuh, maka legitimasi pemimpin yang terpilih pun akan dipertanyakan. Karena itu, aturan mengenai dokumen syarat Capres-Cawapres bukan sekadar urusan administratif, tetapi juga fondasi moral bagi penyelenggaraan pemilu. Demokrasi yang sehat menuntut keterbukaan, apalagi ketika menyangkut jabatan publik tertinggi di negeri ini.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, publik juga dikejutkan dengan mundurnya Rahayu Saraswati dari DPR. Keputusan ini menuai perhatian, terutama dari Partai Gerindra yang bahkan diminta tidak menerima surat pengunduran diri tersebut. Fenomena ini mencerminkan dua hal: pertama, bahwa politik Indonesia masih dipenuhi dinamika personal dan strategi partai; kedua, bahwa pengunduran diri anggota legislatif bisa berdampak pada persepsi publik terhadap stabilitas internal partai politik. Mundurnya seorang legislator bukan sekadar urusan individu, melainkan juga sinyal tentang kesehatan demokrasi internal sebuah partai.

Komisi XIII DPR pun mengusulkan langkah unik: menyediakan lapangan demonstrasi di kompleks Parlemen. Ide ini, jika direalisasikan, dapat menjadi ruang publik aspiratif yang menghubungkan rakyat dengan wakilnya. Selama ini, demonstrasi kerap dianggap sebagai ancaman ketertiban, padahal demonstrasi adalah salah satu hak konstitusional warga negara. Dengan menyediakan ruang khusus, DPR bukan hanya mengakui hak demokratis rakyat, tetapi juga mengelolanya secara lebih terarah. Kebijakan ini dapat menurunkan gesekan antara aparat dan masyarakat serta memperkuat tradisi politik partisipatif.

Data anggaran memperlihatkan dimensi lain demokrasi Indonesia. DPR baru saja menyetujui anggaran Kementerian Pertahanan tahun 2026 sebesar Rp187 triliun. Angka ini mencerminkan prioritas besar negara terhadap sektor pertahanan, tetapi juga memunculkan pertanyaan: apakah alokasi sebesar itu sudah proporsional dengan kebutuhan sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan? Jika dibandingkan, anggaran pendidikan tahun 2025 mencapai sekitar 612 triliun atau 20% dari APBN, sementara kesehatan mendapat porsi 186 triliun. Perbandingan ini menunjukkan bahwa meski pertahanan penting, sektor lain yang langsung bersentuhan dengan rakyat tidak boleh diabaikan.

Menurut saya, arah kebijakan politik dan anggaran harus dilihat dalam satu tarikan napas: membangun demokrasi yang sehat dan berkeadilan. Transparansi dokumen capres, pengunduran diri legislator, usulan lapangan demonstrasi, hingga alokasi anggaran ratusan triliun rupiah semuanya adalah bagian dari wajah demokrasi kita. Wajah itu bisa tampak indah jika semua dijalankan dengan prinsip keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas. Namun, jika tidak, wajah itu akan retak oleh kepentingan sempit.

Argumentasi sederhana bisa dirumuskan begini: demokrasi tanpa transparansi hanyalah formalitas; demokrasi tanpa ruang partisipasi hanyalah kepura-puraan; dan demokrasi tanpa keseimbangan anggaran hanyalah alat kekuasaan. Data angka dan fakta politik yang muncul belakangan ini menegaskan bahwa demokrasi kita masih berjalan, tetapi belum sepenuhnya matang.

Kesimpulannya, demokrasi Indonesia tengah diuji di banyak sisi: dari transparansi pemilu, konsistensi legislator, keterbukaan parlemen terhadap rakyat, hingga kebijakan anggaran negara. Menurut saya, kuncinya ada pada keberanian politik untuk menjadikan demokrasi bukan sekadar prosedur, tetapi juga nilai yang dijunjung tinggi. Jika transparansi ditegakkan, partisipasi rakyat dihargai, dan anggaran dikelola dengan adil, maka demokrasi Indonesia akan lebih kokoh dan dipercaya. Jika tidak, maka semua hanya akan menjadi panggung besar yang menampilkan ilusi keterbukaan.

+ posts

Nashrul Mu'minin, asal Lamongan, Jawa Timur. Lahir 21 Februari 2003, impian penulis dan dosen. Perjalanan hidupku terukir dalam kata-kata, Menginspirasi dunia dengan impian kubangun.

Nashrul Mu'minin

Nashrul Mu'minin, asal Lamongan, Jawa Timur. Lahir 21 Februari 2003, impian penulis dan dosen. Perjalanan hidupku terukir dalam kata-kata, Menginspirasi dunia dengan impian kubangun.