Berusaha Mengerti Bukan Minta Dimengerti
Berusaha Mengerti Bukan Minta Dimengerti
Seorang yang memiliki sifat kepemimpinan (leadership) yang kuat adalah mereka yang memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial tinggi. Salah satu cirinya adalah berusaha mengerti orang lain dan tidak meminta untuk selalu dimengerti.
Dalam konteks hubungan personal, umumnya kita ingin agar orang lain mengerti kita, memahami kita, dan memaklumi semua yang kita lakukan. Kita ingin lingkungan sekeliling memiliki sensitivitas tinggi pada kita. Walaupun terkadang tanpa kita sadari, kita tidak melakukan hal yang sama pada orang lain.
Dalam bahasa Jawa ada istilah tepo seliro. Arti kontekstualnya, kalau tidak suka dicubit, jangan mencubit orang karena orang lain juga tidak suka. Kecuali kalau si pencubit adalah orang khusus bagi kita yang sudah mendapat SK resmi untuk mencubit.
Kalau cubitan fisik mudah dicerna dan dipahami, tidak demikian dengan “cubitan” non-fisik. Definisinya mungkin mudah dipaham yaitu “setiap sikap dan/atau kata-kata yang menyinggung perasaan orang lain.”
Masalahnya, apa sikap dan kata-kata kita yang dapat menyinggung atau melukai hati orang lain? Setiap orang memiliki kadar sensitivitas tipikal yang berbeda-beda. Kata-kata yang sama bisa menyinggung si A, tapi malah menghibur bagi si B, dst. Ini artinya, diperlukan pemahaman tinggi dalam menghadapi setiap individu. Apa sikap dan/atau kata-kata yang dapat menghibur atau melukai si A, si B, si C, dst.
Kadar kemampuan kita dalam memahami setiap individu tersebut akan mempengaruhi pada kadar karisma dan ‘aura’ kita di mata orang lain. Semakin tinggi kadar pemahaman kita pada karakter orang lain, akan semakin banyak teman yang mengelilingi kita. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan kita di bidang ini, akan semakin sedikit “kawan” dan semakin banyak “lawan” dan akhirnya hidup dalam pengasingan.
Take and Give
Falsafah Jawa Tepo Seliro sebenarnya sama dengan falsafah Barat Take and Give, walaupun yang pertama terkesan non-fisikal dan yang kedua lebih cenderung berkonotasi material. Poin penting di sini adalah kenapa mesti ada falsafah Tepo Seliro dan Take and Give?
Karena secara insting, kita selalu menuntut untuk Take More, & Give Less pada orang lain. Dalam dunia non-fisikal (baca, perasaan) kita ingin agar orang lain sensitif pada kita, walaupun kita tidak sensitif pada orang lain. dengan kata lain, sebelum mereformasi diri, manusia cenderung bersikap “sensitif internal dan insensitif eksternal.” Dan karena itu, para pujangga di Timur dan Barat memperkenalkan falsafah tepo seliro dan take and give untuk mengingatkan kita bahwa “take more and give less” atau “sensitif internal dan insensitif eksternal” adalah sikap yang kurang baik dan untuk itu perlu ditinjau kembali untuk direformasi.
New Delhi, India, 12 Februari 2006
Baca juga: Tak mau dikritik, tak berhak dipuji
A Fatih Syuhud; adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang. Penulis masalah Islam, pendidikan, pesantren dan politik. Tulisan opininya yang pernah dimuat di Kompas, Republika, dan lain-lain sudah dibukukan dengan judul, Islam dan Politik: Sistem Khilafah dan Realitas dunia Islam. Catatan Harian-nya di fatihsyuhud.com (dalam Bahasa Inggris) pernah dinobatkan Majalah Tempo (edisi 6 Agustus 2006) sebagai #1 dari 10 Penulis Blog Terbaik. Di Al-Khoirot mengajar kitab berikut: Tafsir Jalalain, Sahih Bukhari, Al-Umm, Muhadzab, Fathul Wahab, Iqna' dan Ibanah al-Ahkam.. Buku-buku yang sudah terbit dapat dilihat di Google Play Store.