Mengupas Kearifan Madzhab Hanafi (Part I): Jejak Imam Abu Hanifah Dalam Sejarah Mazhab Hanafi
Nama lengkapnya Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit atau biasa kita kenal dengan Imam Abu Hanifah, adalah figur cemerlang dalam perjalanan sejarah Islam, tidak hanya diakui sebagai pencetus Mazhab Hanafi, tetapi juga sebagai salah satu ulama mujtahid paling berpengaruh dalam ilmu fiqh. Dilahirkan di Kuffah pada tahun 80 H, Abu Hanifah hidup di masa keemasan dua khalifah besar, di bawah naungan Daulah Bani Umayyah dan Bani Abbassiyah. Kedalaman pengetahuannya tidak diragukan lagi, sebagaimana ia memiliki kehormatan bertemu dengan tujuh sahabat Nabi dan menggali ilmu agama dengan penuh dedikasi.
Dalam artikel ini, kita akan memaparkan perjalanan hidup Abu Hanifah mulai dari latar belakang kelahirannya hingga petualangan pendidikannya yang menginspirasi. Akan diselami pula peran guru-gurunya yang berpengaruh serta dedikasi murid-muridnya yang meneruskan legasi keilmuannya. Namun tak hanya itu, kita juga akan menggali karya-karya monumental dan kontribusi intelektual Abu Hanifah yang menjadi landasan kuat Mazhab Hanafi, serta menyingkap pemikiran-pemikiran penting yang membentuk corak pemikiran dalam Mazhab Hanafi.
Mari kita simak dengan seksama perjalanan dan warisan keilmuan yang membentuk salah satu mazhab fiqh terbesar dalam Islam, yang hingga kini masih mempengaruhi pemikiran dan praktik keagamaan umat Islam di seluruh dunia.
Kisah Kelahiran Abu Hanifah yang Menginspirasi
Imam Abu Hanifah lahir di Kuffah pada tahun 80 H/ 659 M, dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 150 H/ 767 M. Ia adalah ulama’ mujtahid (ahli ijtihad) dalam bidang fiqh dan salah seorang diantara imam yang empat yang terkenal (Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, al-Syafi’I, dan Hambali) dalam islam. Abu Hanifah hidup dimasa dua khalifah yakni daulah Bani Umayyah dan Daulah Bani Abbassiyah, tidak ada keraguan bahwa Imam abu Hanifah adalah tabi’in. Ia sempat bertemu dengan tujuh sahabat nabi dan mendengarkan hadits dari mereka, sebagaimana pernah beliau tuturkan sendiri. [1]
Nama lengkapnya Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit, ayahnya Tsabit berasal dari keturunan Persia yang semasa kecil diajak orang tuanya berziarah kepada Ali bin Abi Thalib. Lalu ia dido’akan agar dari keturunan Tsabit ada yang menjadi ahli agama. Gelar Abu Hanifah diberikan kepada Nu’man ibn Tsabit karena ia seorang yang sungguh-sungguh dalam beribadah. Kata hanif dalam bahasa arab berarti “suci” atau “lurus”. Abu Hanifah adalah pendiri mazhab hanafi yang terkenal dengan “al-imamal-a’dzam” yang artinya Imam Terbesar. Setelah menjadi ulama mujtahid ia pun dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah dan Mazhabnya disebut dengan Mazhab Hanafi. Ada yang mengatakan bahwa sebab penamaan dengan Hanifah adalah karena dia selalu membawa tinta yang disebut Hanifah dalam bahasa Irak. [2]
Ayah Imam Abu Hanifah Tsabit, berasal dari Parsi, sebelum Abu Hanifah dilahirkan ayahnya telah pindah ke Kuffah. Ada ahli sejarah mengatakan bahwa Abu Hanifah berasal dari bangsa Arab suku Yahya ibn Zaid ibn Ashad, dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa beliau berasal dari keturunan ibn Rasyid al-Anshary. Kakeknya Zuthy merupakan tawanan perang dalam perang penaklukan wilayah Khurasan dan Persia, kemudian Zuthy dibebaskan dan kemudian menjadi maula Bani Taim Ibnu Tsa’labah, kemudian ia memeluk agama Islam dan migrasi dari Kabul ke Kuffah. Di Kuffah ia memiliki hubungan baik dengan Imam Ali bin Ali Thalib, begitu juga anaknya Tsabit tetap memelihara hubungan baik dengan Imam Ali, suatu ketika Imam Ali pernah mendo’akan Tsabit agar mendapat berkah pada keturunannya. Do’a ini diijabah Allah dengan dikaruniakannya seorang anak bernama al-Nu’man yang belakangan hari dikenal dengan sebutan Imam Abu Hanifah. [3]
Kisah Pendidikan dan Mendalami Kearifan Bersama Guru-Guru Imam Hanafi
Abu Hanifah mulanya gemar belajar ilmu Qira’at, Hadits, nahwu, Sastra, Syi’ir, Teologi, sehingga ia menjadi salah seorang tokoh terkenal dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikirannya ia sanggup menangkis serangan golongan Khawarij yang dokrin ajarannya sangat ektrim. [4] Sejak masa mudanya Imam Abu Hanifah sudah menunjukkan kecintaan yang mendalam pada ilmu pengetahuan, terutama yang bertalian dengan hukum Islam. Ketika ia menimpa ilmu mula-mula ia belajar sastra arab, namun kemudian ia meninggalkannya karena ilmu ini tidak banyak menggunakan akal pikiran, dia mengalihkan pelajarannya kepada ilmu fiqh dengan alasan ilmu ini banyak menggunakan akal pikiran seperti ia inginkan. Minatnya yang besar terhadap ilmu fiqh, kecerdasan, ketekunan, dan kesungguhannya dalam belajar, mengantarkan Imam Abu Hanifah menjadi seorang yang ahli di bidang fiqh. Keahliannya diakui oleh Ulama semasanya antara lain oleh Imam Hammad ibn Abi Sulaiman sering mempercayakan tugas kepada Imam Abu Hanifah untuk memberi fatwa dan pelajaran fiqh dihadapan murid-muridnya. Khazzaz ibn Sarad juga mengakui keunggulan Imam Abu Hanifah dibidang fiqh dari Ulama lainnya. Selain ilmu fiqh Imam Abu Hanifah juga mendalami hadits dan tafsir karena keduanya sangat erat berkaitan dengan fiqh, karena penguasanya yang mendalam terhadap hukum-hukum islam ia diangkat menjadi mufti kota Kuffah, menggantikan Imam Ibrahim an- Nakhal.
Imam Abu Hanifah belajar ilmu fiqh itu berasal dari Ibrahim, Umar dan Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Mas’ud dan Abdullah ibn Abbas. [5] Selain itu beliau juga berguru kepada ulama-ulama besar lainnya. Para Ulama tempat Imam Abu Hanifah belajar di Kuffah antara lain adalah Sya’bi, Salamah bin Kuhail, Manarib ibn Ditsar, Abu Ishaq Sya’bi, Aun ibn Abdullah, Amr ibn Murrahb, A’masy, Adib ibn Tsabit al-Anshari, Sama’ ibn Harb, dll. Di Basrah Imam Abu Hanifah belajar dari Qatadah dan Syu’bah, Ulama Tabi’I termashur yang telah mempelajari hadits dari sahabat Nabi SAW, Sufyan al- Tsauri disebut Syu’bah sebagai amir al-Mu’minin fi al-Hadits (pemimpin orang-orang beriman dibidang hadits). Di Madinah Imam Abu Hanifah belajar dengan Ulama terkenal Atha’ ibn Abi Rabbah, Di Mekkah Imam abu Hanifah belajar dengan Abdullah ibn Abbas, dia juga sangat beruntung dapat mempelajari hadits dan beberapa persoalan fiqh dari Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar, Aqabah ibn Umar, Sofwan, Jabir, dan Abu Qatadah.
Teropong Pemahaman Hukum Islam: Mengurai Kesamaan dan Perbedaan Antara Madzhab Sunni dan Syi’ah
Jejak Langkah Murid-Murid dan Karya-Karya Mengagumkan Imam Abu Hanifah: Warisan Intelektual
Setelah terkenal dalam ilmu fiqh banyak penuntut ilmu yang datang kepadanya untuk berguru dan mengambil ilmu-ilmunya, yang kemudian menjadi murid-muridnya. Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah:
- Imam Abu Yusuf ibn Ibrahim al-Anshari (Dilahirkan pada tahun 113 H dan wafat pada tahun 182 H)
- Imam Muhammad ibn Hassan ibn Furqan Asy-Saibani (lahir di Iraq pada tahun 132 H wafat pada 189 H)
- Imam Zufar ibn Qais al-Kahfi (lahir pada tahun 110 H wafat pada tahun 158/775M)
- Imam Hassan ibn Ziyad al-luluy (wafat pada tahun 204 H) [6]
Imam Abu Hanifah meninggal pada tahun Rajab 150 H, karena meminum racun yang sediakan oleh Khalifah al-Mansur, sewaktu bermunajat dalam alunan doanya kepada Allah. Jenazahnya dishalatkan sampai enam kalinya diikuti oleh kurang lebih sebanyak lima puluh ribu jama’ah. Bahkan shalat jenazah ini pun dilaksanakan setelah Imam Abu Hanifah dimakamkan setelah kira-kira dua puluh hari, orang-orang terus menziarahi kuburannya untuk berdoa dan melakukan shalat ghaib. Sebagai banyak ide dan buah pikiran. Sebagian ide dan buah pikirannya ditulisnya sendiri dalam bentuk buku, tetapi kebanyakan dihimpun oleh murid-muridnya untuk kemudian. Kitab-kitab yang ditulisnya sendiri antara lain:
- Al-faraid yang khusus membicarakan masalah waris dan segala ketentuannya menurut hukum islam.
- Al-Syurt yang membahas perjanjian.
- Al-fiqh al-Akbar yang membahas ilmu kalam atau teologi dan diberi syarah (penjelasan oleh imam Abu Mansur Muhammad al-Maturudi dan Imam Abu Muntaha al-Maula Ahmad ibn Muhammad al-Maqnisawi)
Jumlah kitab yang ditulis muridnya yang dijadikan pegangan pengikut Mazhab Hanafi. Ulama Mazhab Hanafi membagi kitab-kitab itu menjadi tiga tingkatan:
- Masail al-Ushul
Masail al-ushul kitabnya dinamakan Dhahir al-Riwayah. Isi yang terkandung dalam kitab ini adalah masalah-masalah yang telah diriwayatkan oleh abu hanifa dan sahabat-sahabat terdekatnya. Disebut dhahir al-Riwayah karena pendapat-pendapat yang disampaikan oleh abu hanifah diyakini kebenarannya karena disampaikan oleh para sahabat terdekat yang telah dipercaya. [7] Dalam masail al-Ushul terdapat enam kitab Dhahir al-Riwayah, yakni:
- Kitab al-Mabsuth
- Kitab al-Jami’ ash-Shaghir
- Kitab al-Jami’ al-Kabir
- Kitab as-Sairus as-Shaghir
- Kitab as-Sairus al-Kabir
- Kitab al-Ziyadat[8]
- Masail al- Nawadir
Masail al- Nawadir adalah riwayat lain yang disampaikan abu hanifah dan sahabatnya dalam kitab selain kitab Dhahir al-Riwayat. Kitab-kitab yang dimaksud seperti Harunniyat, Jurjaniyyat, Kaisanniyat, oleh imam Muhammad bin Hasan, dan kitab al-Mujarad oleh imam Hasan bin Ziyad. [9]
- Al-Fatwa wa al-Waqi’at
Al-Fatwa wa al-Waqi’at adalah masalah-masalah agama yang di istinbatkan kepada para ulama’ mujtahid madzhab hanafi. Kitab Al-Fatwa wa al-Waqi’at yang pertama adalah kitab al-Nazawil yang dihimpun oleh imam imam Abdul Laits as-Samarqandi.[10]
Penutup
Dengan demikian, menjelajahi perjalanan hidup dan warisan intelektual Imam Abu Hanifah serta jejak langkah murid-muridnya membawa kita pada pemahaman yang lebih mendalam terhadap kearifan Mazhab Hanafi. Melalui kesungguhan dan ketekunan dalam menafsirkan hukum-hukum Islam, Abu Hanifah tidak hanya menegakkan pondasi yang kokoh bagi Mazhab Hanafi, tetapi juga mewariskan warisan pemikiran yang berharga bagi umat Islam hingga kini. Dengan bimbingan Abu Hanifah, murid-muridnya meneruskan perjuangan intelektual, menciptakan karya-karya monumental yang menjadi pedoman dan sumber inspirasi bagi pengikut Mazhab Hanafi. Maka dari itu, melalui penelusuran ini, kita tidak hanya menghargai sumbangan ilmiah mereka, tetapi juga memperdalam pemahaman kita tentang kekayaan intelektual dalam tradisi Islam.
Minat yang tinggi dan dampak yang besar dari Mazhab Hanafi, yang diperjuangkan oleh pemikiran dan keteguhan Abu Hanifah serta kelanjutan yang dijaga oleh murid-muridnya, menegaskan pentingnya menjelajahi berbagai pemikiran dalam Islam. Dengan merenungkan jejak langkah Abu Hanifah dan para penerusnya, kita diingatkan akan kekuatan pemikiran dan ketekunan dalam menjaga warisan ilmu. Semoga artikel ini mampu menginspirasi kita untuk terus meneliti kebijaksanaan dan kekayaan pemikiran yang terdapat dalam Mazhab Hanafi serta tradisi-tradisi keilmuan Islam lainnya. Wallahu A’lam bi Ash-Showaab.[]
[1] Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaran (Jakarta: Erlangga, 1991), 69.
[2] Ibrahim, 70.
[3] Ibrahim, 70–71.
[4] Huzaemah T. Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Gaung Persada Press, 2011), 106.
[5] Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaran, 73.
[6] Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, 113.
[7] Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaran, 78.
[8] Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, 113.
[9] Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaran, 75.
[10] Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaran, 75-76.
Mahasiwa UIN Sunan Ampel Surabaya, Prodi Perbandingan Madzhab. Berasal dari kota Kopi (Dampit). Alumni PP. Al-Khoirot Malang. Menurutnya healing terbaik adalah "Tidur".