ArtikelHikmah

Isra’ Rasulullah Ke Baitul Maqdis, Tauladan Spiritual Persatuan Umat

Isro’ dan Mi’roj Nabi Muhammad SAW adalah pejalanan yang suci dan agung. Dimana sang Rasul kita diseru agar bertemu Allah SWT secara langsung untuk menerima Syariat dengan diwajibkannya Shalat Fardu. Dimulai dengan dijemputnya beliau oleh Malaikat jibril untuk melakukan perjalanan Isro’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Kemudian melakukan perjalanan Mi’raj dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha. Lebih-lebih itu semua ditempuh hanya dalam satu malam saja.

Untuk menerka kejadian luar biasa itu, sudah pasti tidak akan cukup menggunakan kedangkalan pengetahuan manusia. Namun dengan keterbatasan dan ketidakmampuan kita, Allah SWT tidak mungkin mentakdirkan itu tanpa ada Jutaan, atau bahkan Triliunan hikmah yang bisa kita pahami dan tauladani.

Sebutlah salah satu momen perjalanan Isra’ Rasulullah SAW ketika beliau berkunjung ke Masjidil Aqsha (Palestina). Namun sebelum itu, pernahkah kita berpikir “Kenapa ditengah perjalanan beliau bertemu Allah SWT mengharuskan beliau untuk berkunjung ke Baitul Maqdis? Kenapa tidak langsung saja perjalanan itu dari masjidil haram kemudian ke Sidratul Muntaha?”.

Mengenai ini, kita perlu untuk muroja’ah sedikit mengenai sejarah masa kenabian dimasa lampau. Sejak dulu, Masjid Al-Aqsha adalah tempat suci yang menjadi landasan penurunan wahyu kepada para Nabi dan Rasul. Namun semenjak Syariat agama Samawi berada pada naungan Bani Isra’il, Banyak sekali penyelewengan dan pengkhianatan mereka terhadap para nabi yang diutus untuk mereka. Bahkan ketika pada masa bangsa Yahudi, mereka tidak segan-segan membunuh nabi-nabi mereka dan mengubah isi dari Kitab suci, yang sama saja telah menghilang kemulyaan dari Wahyu serta membuang Hukum dan Syariat agama yang telah diturunkan Allah SWT.

Dan dari sanalah, Allah SWT lalu mengalihkan, menuruskan dan menyempurnakan Wahyu itu dari Bangsa Isra’il hingga sampai kepada para nabi keturunan Nabi Ismail AS. kemudian menjadikan Nabi Muhammad SAW penutup dari para utusannya. Agar cahaya dari kebenaran dan kesempurnaan Syariat yang dianugrahkan kepada manusia tak akan pernah pudar. Namun lagi-lagi umat Yahudi masih memungkiri kebenaran dari perpindahan Syariat nabi mereka kepada para Nabi yang diutus setelahnya. Lalu bersikukuh dengan menerapkan Wahyu yang telah mereka cacati sendiri.

Menurut Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Pemungkiran mereka diindikasikan Allah SWT dalam Firman-Nya:

                بِئْسَمَا ٱشْتَرَوْاْ بِهِۦٓ أَنفُسَهُمْ أَن يَكْفُرُواْ بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ بَغْيًا أَن يُنَزِّلَ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ عَلَىٰ مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ ۖ فَبَآءُو بِغَضَبٍ عَلَىٰ غَضَبٍۢ

Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang diturunkan kepada Allah, Karena dengki bahwa Allah telah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapata murka sesudah (mendapat) kemurkaan”. (Q.S Al-Baqarah : 90)

Dan berdasarkan itulah, Allah SWT mengalihkan risalah kenabian dari bangsa Isra’il kepada bangsa Isma’il (Arab).

Kembali kepertanyaan awal, mengapa Masjidil Aqsha? Apa yang menjadi alasan nabi berkunjung kesana? Sebagaimana telah penulis sebutkan diawal, Bahwa Masjidil Aqsha adalah negeri dimana turunnya risalah kenabian dan syariat para Nabi dan Rasul terdahulu. Hingga kemudian Allah mengalihkannya kepada Bangsa Arab. Mulai dari Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Ishaq, Nabi Ya’qub (‘Alaihim As-Salam), Hingga sampai dimana Risalah kenabian terakhir diamanahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang berpusat di Masjidil Haram.

Dan dari situlah, bisa kita sadari bahwa Allah SWT menjaga spiritual kesatuan Umat dengan mempertahankan Kemuliyaan Masjidil Aqsha. Disanalah saksi akan esensi dari Kesatuan dan kesempurnaan umat terdahulu berada. Ketika malam Isra’ Nabi Muhammad SAW ke Baitul Maqdis, Allah mengumpulkan seluruh para Nabi dan Rasul sebelumnya untuk Sholat berjama’ah disana, dan memperkenankan Nabi Muhammad menjadi Imam Shalatnya. Mengenai ini, Syaikh Muhammad Al-Ghazali dalam karyanya Al-Isra’ wa Al-Mi’raj fi Dlau’i As-sirah An-Nabawiyah juga menyebutkan:

                إن النبوات يُصدِّق بعضُها بعضًا، ويُمهد السابق منها للاحق، وقد أخذ الله الميثاق على أنبياء بني إسرائيل بذلك؛ (وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّنَ لَمَا ءَاتَيْتُكُم مِّن كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُّصَدِّقُ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ أَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِى قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَأَشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُم مِّنَ الشَّهِدِينَ) آل عمران : ۸۱ .

وفي السنة الصحيحة أن الرسول ﷺ صلى بإخوانه الأنبياء ركعتين في المسجد الأقصى، فكانت هذه الإمامة إقرارًا مبينا بأن الإسلام كلمة الله الأخيرة إلى خلقه، أخذت تمامها على يد محمد بعد أن وطأ لها العباد الصالحون من رسل الله الأولين.

“Sesungguhnya eksistensi kenabian itu memberikan pembenaran dari satu nabi kepada nabi yang lain. Sebagaimana para nabi terdahulu membentangkan bukti dari kenabian para nabi setelahnya. Dan Allah SWT telah mengambil perjanjian dengan para nabi bangsa Isra’il mengenai itu. Allah berfirman:

Dan (Ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, “Manakala Aku memberikan kitab dan hikmah kepadamu, lalu datang kepada kamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” Allah berfirman, “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian dengan-Ku atas yang demikian itu?” Mereka menjawab, “Kami mengakui.” Allah berfirman, “Kalau begitu, bersaksilah kamu (para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. (Ali Imron : 81)

Dan didalam hadist juga disebutkan bahwa (ketika Isra’) Rasulullah SAW (menjadi imam) shalat dua raka’at bersama para nabi yang lain di Masjidil Aqsha. Keberadaan beliau menjadi Imam saat itu adalah bukti yang menjelaskan bahwa Islam adalah kalimat (Syariat) terakhir yang Allah turunkan kepada Makhluk-Nya. Dan kesempurnaan Kalimat itu diamanahkan kepada Baginda Nabi setelah terjadi penurunan (autentitas) ditangan para nabi sebelumnya.”[1]

Masih dalam konteks yang sama, Syaikh Ali Jum’ah juga berpendapat:

الأمة الإنسانية أمة واحدة, ويتوج حدث الإسراء والمعراج هذا المعنى, إذ التقى رسولنا الكريم ﷺ بإخوانه الأنبياء, وصلوا صلاة واحدة يؤمهم فيها ﷺ , إشارة إلى أن هذه الأمة تتبع جميع الأنبياء وتؤمن بهم, وذلك باتباعهم لنبيهم الخاتم. إن الله سبحانه وتعالى كما أرسل الرسل بالعهد القديم, والعهد الجديد, فقد ختمهم رسول الله ﷺ الذي أنزل معه العهد الأخير, وجعل الله سبحانه وتعالي الأمة واحدة من لدن آدم إلى يومنا هذا

“Esensi umat manusia adalah umat yang satu. Sebagaimana kejadian Isra’ dan Mi’raj yang mengindikasikan itu. Ketika Rasulullah SAW bertemu dengan para nabi sebelumnya kemudian sholat dengan mereka dan beliau mejadi Imamnya, menunjukan bahwa Umat ini telah diikuti dan di Imani oleh seluruh nabi terdahulu. Sebagaimana beliau semua mengikuti Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Sesungguhnya Allah SWT telah mengutus para nabi dengan perjanjian lama dan perjanjian baru. Dan Nabi Muhammad lah yang menjadi akhir dari penurunan risalah kenabian sekaligus perjanjian itu. Maka dari situlah, Allah menjadikan seluruh umat dari semenjak diutusnya Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW (Sekarang) sebagai umat yang satu.”[2]

Dari sana bisa kita pahami, bahwa urgensi dari persatuan umat sudah menjadi kewajiban yang sangat penting untuk kita jaga. Sebagaimana urgensitas itu yang bisa kita tauladani dalam kisah Isra’ Mi’raj Rasullah SAW yang begitu agung. Bahkan tidak hanya itu, Konteks persatuan umat juga bisa kita temukan dalam semua aspek Syariat Islam. Yang menandakan bahwa sudah menjadi jati diri seorang muslim, bahkan seluruh umat manusia untuk selalu melestarikan, menjaga, dan mempertahankan kesatuan itu. Meskipun akan ada banyak sekali perbedaan yang akan kita temui, jangan sampai kita mendefiniskannya sebagai keegoisan dan kelebihan. Namun kita harus memahaminya sebagai kesetaraan dan keterbatasan. Agar hal itu bisa menjadi ajang untuk saling menolong dan berbagi kebaikan. Wallahu A’lam Bisshawab.

Baca juga: Bijak Dalam Mengutarakan Pendapat

______________________

[1] Syaikh Dr. Muhammad Sayid Thantawi, Syaikh Dr. Ahmad Umar Hasyim, Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Al-Isra’ wa Al-Mi’raj (Kairo, Al-Azhar, 2024 M/1445 H), hal. 117.

[2] Laman resmi Syaikh Ali Jum’ah: https://www.facebook.com/share/p/G1rA7miSrWgwsDTb/?mibextid=2JQ9oc

Isra’ Rasulullah Ke Baitul Maqdis Tauladan Spiritual Persatuan Umat
Alumni at Pondok Pesantren Al-Khoirot | + posts

Mahasiswa Indonesia di Mesir, asal dari Dampit. Saat ini menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Fakultas Ushuluddin. Alumni PP Al-Khoirot Malang

Avatar

Dimas Adi Saputra

Mahasiswa Indonesia di Mesir, asal dari Dampit. Saat ini menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Fakultas Ushuluddin. Alumni PP Al-Khoirot Malang