Hukum Merayakan Hari Ibu!! Boleh atau Haram?
Mungkin kita semua pernah mendengar atau membaca beberapa pendapat di bawah ini :
- “Perayaan hari ibu adalah tradisi kaum non muslim, sebagai umat islam kita dilarang merayakannya karena telah mengikuti tradisi orang kafir”
- “Perayaan hari ibu adalah bentuk penghinaan, karena orang-orang barat hanya akan memuliakan ibunya pada satu hari saja”
- “Hari ibu ini bid’ah, tidak ada di zaman nabi Muhammad SAW”
Pernyataan yang menurut penulis termasuk dalam sebuah opini yang menggiring kita untuk menyalahkan beberapa pihak. Pernyataan tersebut sering kita temui di berbagai media sosial seperti whatsapp, facebook, dan lain-lain.
Hanya saja kita tidak tahu siapa penulisnya dan dari mana sumbernya.
Tentu sulit untuk mempercayai pendapat-pendapat semacam itu bukan?
Kecuali bagi orang-orang yang kaku terhadap hukum, seakan-akan pendapat atau pernyataan demikian membuat orang-orang muslim bersih dan taat beragama.
Penulis akan membahas sedikit mengenai hari ibu sekaligus menanggapi beberapa pernyataan yang menurut penulis sedikit menuai kontroversi ini.
Hari ibu atau Mother’s day merupakan peringatan yang jatuh pada tanggal 22 Desember. Biasanya perayaannya berupa mengucapkan selamat pada ibu, ada juga yang memberi hadiah serta menunjukan kebaktiannya terhadap seorang ibu. Pada intinya, di hari tersebut seorang anak akan menunjukan rasa kasih kasih sayang dan bentuk berbakti terhadap seorang ibu.
Bagaimana hukumnya? Apakah dengan memperingati hari ibu kita termasuk mengikuti tradisi orang kafir, atau bahkan menyebabkan kita keluar dari Islam?
Faktanya memang di kalangan pendapat ulama terjadi perbedaan, namun dalam kasus ini pendapat yang memperbolehkan lebih kuat, mengapa demikian?
Penulis akan membahas beberapa perbedaan pendapat ulama terkait perayaan hari ibu ini.
Pendapat yang mengharamkan
Yang mengemukakan pendapat ini adalah Sebagian ulama seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Muhamad bin Sholih Al-Utsaimin, dan Lembaga Fatwa Arab, dengan merujuk pada hadis Riwayat Aisyah Radhiyallahu anha, bahwa Rosulullah SAW bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya maka perkara tersebut tertolak”
Selain itu, pendapat ini juga merujuk pada hadits Riwayat ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa Rosulullah SAW bersabda :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka”
Kedua dalil di atas sebagai rujukan bahwa peringatan hari ibu adalah haram karena termasuk perkara baru yakni tidak ada di zaman nabi, sahabat dan kaum muslim terdahulu (Salaf al-Ummah) serta perayaan hari ibu ini termasuk menyerupai kaum non muslim.
Pendapat membolehkan perayaan hari ibu
Dalam Al-Qur’an sendiri memuliakan kedua orang tua merupakan suatu kewajiban bagi umat muslim, sebagaimana tercantum di Q.S Al-Isra’ ayat 23
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya: “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (QS. Al-Isra’: 23)
Ibn Katsir dalam tafsirnya Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim menjelaskan maksud dari ayat tersebut :
يَقُولُ تَعَالَى آمِرًا عِبَادَهُ بِالْإِحْسَانِ إِلَى الْوَالِدَيْنِ بَعْدَ الْحَثِّ عَلَى التَّمَسُّكِ بِتَوْحِيدِهِ، فَإِنَّ الْوَالِدَيْنِ هُمَا سَبَبُ وُجُودِ الْإِنْسَانِ، وَلَهُمَا عَلَيْهِ غَايَةُ الْإِحْسَانِ
“Allah swt berfirman memerintahkan hambanya untuk berbuat baik kepada kedua orang tua setelah perintah pengesaan atau penghambaan kepada Allah. Sebab kedua orang tua merupakan perantara seorang anak bisa lahir di dunia ini. Karenanya, kedua orang tua harus dihormati dan berbuat baik kepadanya.”
Mufti mesir dan Grand Al-Azhar Syekh Dr. Ali Jum’ah Muhammad menyatakan kebolehan merayakan hari ibu dengan spesifik di dalam Al-Bayan lima Yughsilul Adzhan
السُّؤَالُ مَا حُكْمُ الْاِحْتِفَالِ بِعِيْدِ الْأُمِّ وَهَلْ هُوَ بِدْعَةٌ؟ الْجَوَابُ: … وَمِنْ مَظَاهِرِ تَكْرِيْمِ الْأُمِّ الْاِحْتِفَالُ بِهَا وَحُسْنُ بِرِّهَا وَالْإِحْسَانُ إِلَيْهَا وَلَيْسَ فِي الشَّرْعِ مَا يَمْنَعُ مِنْ أَنْ تَكُوْنَ هُنَاكَ مُنَاسَبَةٌ لِذَلِكَ يُعَبَّرُ فِيْهَا الْأَبْنَاءُ عَنْ بِرِّهِمْ بِأُمَّهَاتِهِمْ فَإِنَّ هَذَا أَمْرٌ تَنْظِيْمِيٌّ لَا حَرَجَ فِيْهِ
“Pertanyaan : Bagaimana hukum peringatan hari ibu, apakah termasuk bid’ah?
Jawaban : Termasuk dari wujud nyata memuliakan seorang ibu adalah menggelar suatu peringatan untuknya dan bersikap baik padanya. Dalam syariat tidak ada larangan mengenai tindakan yang selaras dengan praktik tersebut yang dinilai oleh seorang anak sebagai bentuk kepatuhan dengan ibu mereka. Maka hal ini termasuk kegiatan yang tertata dan tidak terdapat dosa di dalamnya.”
Artinya memperingati hari ibu bukan berarti kita memuliakan seorang ibu hanya dalam sehari saja, karena memuliakan kedua orang tua khususnya ibu merupakan naluri atau fitrah yang pasti ada pada diri manusia, sedangkan peringatan hari ibu sendiri merupakan perayaan untuk menunjukan rasa kasih sayang terhadap seorang ibu dalam bentuk aksi.
Sehingga merayakan hari ibu hukumnya boleh.
Pendapat haramnya merayakan hari ibu lemah
Dari kedua perbandingan perbedaan maka yang dikuatkan adalah pendapat yang membolehkan, mengapa demikian?
Karena pendapat yang membolehkan lebih spesifik, artinya rujukan yang digunakan sebagai keharaman merayakan hari ibu masih dalam konteks umum.
Penulis akan sedikit membahas beberapa rujukan dari keharaman merayakan hari ibu.
1. Hari ibu tidak ada pada zaman nabi
Pada pernyataan haram merayakan hari ibu dengan sebab tidak ada pada zaman nabi dengan rujukan hadits Riwayat Siti Aisyah ra. Merupakan pendapat yang belum jelas, hal ini karena hadits tersebut masih memiliki beberapa penjelasan secara umum.
Berkenaan dengan hal baru, ternyata ada hadits shahih Riwayat Imam Muslim di mana nabi bersabda :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan baru yang baik di dalam islam maka dia akan mendapat pahala dan pahala orang yang melakukan setelahnya tanpa kurang sedikitpun. Barangsiapa yang melakukan perbuatan baru yang buruk di dalam islam maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang menirunya tanpa kurang sedikitpun”
Artinya perbuatan yang baru masih ada dua bagian yakni dua perbuatan baru yang dianggap baik dan perbuatan baru yang dianggap buruk, sehingga jika perbuatan baru yang baik dan tidak menyalahi aturan syari’at yang berlaku maka tidak ada masalah dengan kata lain boleh.
Baca : Bid’ah itu baik
2. Perayaan hari ibu menyerupai kamu non muslim
Masih pada pernyataan yang mengatakan perayaan hari ibu haram yakni berdasarkan dalih menyerupai kaum non muslim dengan merujuk pada hadist Riwayat ibn Umar di atas.
Faktanya konsep tasyabbuh (menyerupai) dalam islam tidak sedemikian.
Tasyabbuh dalan islam terbagi menjadi dua yakni tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir), tasyabbuh bi an-Nisa’ wa al-Rijal (Menyerupai lawan jenis).
Konsep tasyabbuh yang pertama dijelaskan oleh ibn Hajar al-Haitami dalam fatawa al-fiqhiyah al-Kubro bahwa selagi tidak menyerupai dalam akidah dan syiar maka boleh-boleh saja.
Kesimpulan, perayaan hari ibu merupakan perkara baru dan tradisi orang non muslim namun demikian tidak ada alasan untuk mengharamkan perayaan tersebut selagi perayaannya tidak ada unsur yang melanggar syari’at, dan pada kesempatan ini penulis ingin mengungkapkan tidak mungkin ada bentuk memuliakan seorang ibu yang melanggar syari’at.
Baca juga : 7 Tanda Kebahagiaan di Dunia Menurut Ibnu Abbas
Sedang menempuh studi di Universitas Raden Rahmad Malang, jurusan Teknologi Informasi. Aktif mengikuti Bahsul Masail diluar pesantren Al-Khoirot