Keislaman

Harta Gono-Gini dalam Pandangan Islam

Harta gono-gini atau harta bersama adalah harta yang diperoleh bersama oleh pasangan suami istri selama dalam ikatan pernikahan. Perbincangan seputar gono-gini sering menjadi perhatian masyarakat, terutama dalam konteks perceraian public figur atau artis, di mana pembagian harta bersama dapat menjadi pokok perdebatan. Perceraian menjadi lebih kompleks ketika melibatkan tuntutan pembagian harta gono-gini, seringkali memanas dalam sidang-sidang perceraian di pengadilan.

Dalam konteks Islam, para kiai Nadhlatul Ulama mengartikan harta gono-gini sebagai Syirkah Abdan. Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-1 menyatakan bahwa memberikan harta gono-gini atau hasil usaha suami istri dianggap sah, baik dengan kontribusi modal masing-masing maupun tanpa kontribusi, asalkan harta tersebut sudah tercampur menjadi satu. hal tersebut diperkuat dengan keterangan di dalam Hamisy kitab Syarqawi:

إذا حصل اشتراك في لمة… إن كان لكل متاع أو لم يكن لأحدهما متاع واكتسبا فإن تميّزا فلكل كسبه وإلا اصطلحا فإن كان النعماء من ملك أحدهما من هذه الحالة فالكل له وللباقين الأجرة، ولو بالغن لوجود الإشتراك

Artinya, “Jika terdapat kerjasama dalam kepemilikan harta, dalam situasi di mana setiap individu memiliki harta atau salah satunya tidak memiliki harta, namun keduanya berkolaborasi dalam suatu usaha, pembagian hasil dapat dilakukan berdasarkan kontribusi masing-masing individu jika dapat dibedakan. Jika tidak memungkinkan untuk membedakan kontribusi, maka solusinya adalah kedua belah pihak menyelesaikan perselisihan dengan damai. Dalam kejadian di mana pertumbuhan kekayaan berasal dari harta milik salah satu pihak, seluruh aset menjadi kepemilikan individu tersebut, dan pihak lain berhak menerima kompensasi, bahkan jika terjadi kerugian, karena adanya keterlibatan dalam kemitraan tersebut. (Taqrir Mushtafa ad-Dzahabi, Hasyiyah asy-Syarqawi, cetakan Darul Kutub al-Islamiyah, 2/109. Syirkah Abdan, pada dasarnya, merupakan bentuk kemitraan antara dua pihak dalam suatu usaha, baik dengan tingkat kontribusi yang sama atau berbeda, serta adanya kesesuaian dalam peran masing-masing. Konsep ini diuraikan oleh Syekh Zakariya al-Anshori dalam Fathul Wahhab:

شركة أبدان بأن يشتركا أي اثنان ليكون بينهما كسبهما ببدنهما متساويا كان أو متفاوتا مع اتفاق الحرفة

Artinya: “Syirkah abdan adalah ketika dua pihak sepakat untuk bekerja sama dalam mengelola suatu bisnis, baik dengan pembagian tanggung jawab yang sama maupun berbeda, termasuk dalam hal profesi fisik, serta dengan memperhatikan kesesuaian job deskripsi.” (Syekh Zakaria Anshari, Fathul Wahhab, cetakan: Daru al-Fikr: 1/255). Selanjutnya, dalam bentuk syirkah seperti ini, jika kedua belah pihak memutuskan untuk menghentikan kerjasama, maka hasil usaha mereka seharusnya dibagi secara adil jika memungkinkan. Namun, jika pembagian secara merata tidak dapat dilakukan, maka pembagian dilakukan berdasarkan kebiasaan yang berlaku di wilayah tersebut. Syekh Syihabuddin ar-Ramli menyatakan dalam Fathurrahman syarah Zubad ibn Ruslan:

 فإذا اكتسبا وانفردا .. فلكل كسبه، وإلا .. قسم الحاصل على قدرة أجرة المثل.

Artinya, “Jika dua individu terlibat dalam suatu usaha bersama dan kemudian memutuskan untuk berpisah, maka keuntungan yang dihasilkan dari usaha tersebut akan dibagi secara merata di antara keduanya. Namun, jika pembagian tersebut tidak dapat dilakukan secara merata, maka keuntungan usaha akan dibagi sesuai dengan kadar upah yang berlaku di daerah tempat usaha tersebut berlangsung.” (Syekh Syihabuddin ar-Ramli, Fathurrahman syarah Zubad Ibn Ruslan, cetakan: Darul Minhaj, 2009, 1/624).

Dalam Kompilasi Hukum Islam, terdapat ketentuan mengenai pembagian harta perkawinan yang diatur melalui Pasal 85 hingga Pasal 97. Pembagian ini merinci beberapa aspek penting terkait harta perkawinan, yang meliputi:

  • Harta Bawaan Suami: Merujuk pada harta yang sudah dimiliki suami sejak sebelum perkawinan.
  • Harta Bawaan Istri: Merupakan harta yang dibawa oleh istri sejak sebelum perkawinan.
  • Harta Bersama Suami Istri: Melibatkan harta benda yang diperoleh selama perkawinan dan menjadi milik bersama suami dan istri.
  • Harta Hasil Dari Hadiah, Hibah, Waris, dan Sedekah Suami: Menyebutkan harta yang diperoleh suami sebagai hadiah atau warisan.
  • Harta Hasil Hadiah, Hibah, Waris, dan Sedekah Istri: Merujuk pada harta yang diperoleh istri sebagai hadiah atau warisan.

Penting untuk dicatat bahwa pembagian harta dalam Islam, khususnya dalam konteks gono-gini, analog dengan konsep syirkah. Konsep ini mencerminkan hasil dari kerjasama dalam perjalanan rumah tangga antara suami dan istri yang menghasilkan harta yang dikelola bersama. Dengan demikian, aturan pembagian harta dalam Islam mencerminkan prinsip keadilan dan keseimbangan antara hak dan tanggung jawab suami serta istri dalam pernikahan.

Baca juga : Bagaimana Fiqh Menyikapi Jual Beli Sistem Kredit?

Researcher at Pondok Pesantren Al-Khoirot | + posts

Santri Ma'had Aly Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang, asal Lumajang yang sedang menempuh program Studi Doktoral Islamic Education Management di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Sebagai peneliti di bidang manajemen pendidikan Islam dengan fokus kepemimpinan dan mutu pendidikan. Karya-karya tulis ilmiahnya dapat diakses melalui akun Google Scholar

Avatar

Muhammad Amin Fathih

Santri Ma'had Aly Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang, asal Lumajang yang sedang menempuh program Studi Doktoral Islamic Education Management di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Sebagai peneliti di bidang manajemen pendidikan Islam dengan fokus kepemimpinan dan mutu pendidikan. Karya-karya tulis ilmiahnya dapat diakses melalui akun Google Scholar