Artikel

Bijak Dalam Mengutarakan Pendapat

Perbedaan pendapat adalah sebuah fitrah manusiawi. Karena terkadang, taraf kebenaran dan kebaikan bagi masing-masing individu bisa bervariasi. Bahkan, pada dasarnya manusiapun tidak bisa menentukan sesuatu yang baik atau yang buruk baginya. Tapi secara umum, taraf kebaikan itu bisa ditinjau dari seberapa inginnya dia merasa bahagia. Semakin besar potensi itu mengarahkannya kepada rasa bahagia, semakin besar pula nilai kebaikan yang ada didalamnya. Sayangnya, Kebahagiaan setiap individu tidak bisa disama ratakan dalam satu hal. Dan akhirnya dari sinilah kita harus sadar, bahwa sudah lazimnya kita mewajari adanya perbedaan pendapat yang berasal dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda.

Disisi lain, Tidak semua bentuk sajian perbedaan pendapat dapat dikonsumsi mentah-mentah. Lebih-lebih jika hal itu disampaikan dalam forum debat. Mengapa demikian? hal itu bisa timbul dari banyak sebab. Baik dari temanya yang kurang relevan, argumentasi yang belum divalidasi, waktu, tempat serta kondisi yang tidak tepat, dan lain sebagainya. Namun sebab yang paling berbahaya diantara itu semua adalah adalah “Audiens yang kurang tepat”.

“Audiens Yang Kurang Tepat” secara umum mungkin bisa kita replikakan sebagai masyarakat awam. jika ingin menyebutkan contoh, saya kira sudah cukup realita yang menjawabnya. Karena problematika yang sangat sensitif dan sepatutnya dihindarkan dari masyarakat awam salah satunya adalah “Perbedaan Pendapat”. Apalagi jika topiknya tidak bisa dijangkau oleh yang minim intelektual. Maka dari itu, alangkah baiknya jika perdebatan itu disajikan pada tempat dan kondisi yang pas. Agar konsekuensi dari gagal pahamnya masyarakat awam, tidak menjadi propaganda yang membawa dampak negatif.

Mengenai problematika ini, saya teringat dua bait syair dari dua orang pujangga islam yang terkenal dikalangan ulama’, Sulthanul Syu’aro Ahmad Syauqi (1932 M) dan Syu’aro an-Nile Hafidz Ibrahim (1932 M). Keduanya terkenal dengan kepakaran yang luar biasa dalam bidang sya’ir. Qodarullah karena beliau berdua hidup pada satu masa yang sama, Jadi bukan suatu yang aneh jika terdapat persaingan atau perbedaan pendapat diantara keduanya.

Singkat cerita, Hafidz Ibrahim mengemukakan satu bait syair yang berbunyi:

يَقُوْلُوْنَ إِِنَّ الشَّوْقَ نَارٌ وَلَوْعَةٌ # فَمَا بَالَ شَوْقِي أَصْبَحَ اليَوْمَ بَارِدًا

“Orang-orang berkata bahwa As-Syauq (rasa rindu) adalah api dan penderitaan. Namun apa daya kalau sekarang Syauqi (rasa rinduku) sekarang menjadi dingin”.

Kurang lebih seperti itu jika kita memaknai syair diatas secara tekstual (dhahir ma’na). Namun secara kontekstual, Syair ini sebenarnya ditujukan untuk Ahmad Syauqi yang kala itu sedang mengurangi aktivitas, terutama dalam persaingan intelektual. Dan dari situlah akhirnya Hafidz Ibrahim mengutarakan syair diatas sebagai bentuk provokatif dari kemunduran gairah Ahmad Syauqi dalam persaingan intelektualnya.

Sebagai tanggapan atas bentuk provokasi tadi, akhirnya Ahmad Syauqi membalasnya dengan sebuah Syair yang berbunyi:

وَأَوْدَعْتُ إِنْسَانًا وَكَلْبًا وَدِيْعَةً # فَضَيَّعَهَا الِإنْسَانُ وَالْكَلْبُ حَافِظٌ

“Aku menitipkan suatu barang kepada seseorang dan seekor anjing. Lalu seseorang itu menghilangkannya dan anjing adalah Hafidz (yang menjaganya)”.

Demikian untuk makna tekstualnya. Namun untuk makna kontekstualnya, penulis jadikan bonus untuk para pembaca agar memahaminya secara mandiri tanpa meniadakan husnudzan dan rasa bijak.

Pada intinya, salah satu kebiasaan yang penulis kagumi dan sepatutnya kita tauladani, adalah pengaplikasian ulama kita terhadap media syair untuk menyampaikan argumentasi. baik dalam forum debat, ataupun cuma sekedar tegur-menegur satu sama lain. Supaya:

  • Secara tidak langsung memberikan batasan agar yang dapat memahami perbedaan pendapat itu hanya audiens yang intelektualnya memumpuni. sehingga dapat memahami perbedaan itu dengan bijak.
  • Menjaga masyarakat yang masih minim intelektual terprovokasi akan kesalah fahaman yang mereka buat sendiri.

Hikmah yang bisa kita petik dari itu adalah sikap bijaksanaan dalam memilah dan merelevansi media untuk menyampaikan perbedaan. Untuk meminimalisir terjadi konflik antar masyarakat yang disebabkan oleh kesembronoan kita dalam menyampaikan pendapat. Wallahu A’lam Bisshawab.

Baca juga : Lanjut Studi Islam Diluar Negeri, Menyesatkan?

 

Bijak Dalam Mengutarakan Pendapat
Alumni at Pondok Pesantren Al-Khoirot | + posts

Mahasiswa Indonesia di Mesir, asal dari Dampit. Saat ini menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Fakultas Ushuluddin. Alumni PP Al-Khoirot Malang

Avatar

Dimas Adi Saputra

Mahasiswa Indonesia di Mesir, asal dari Dampit. Saat ini menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Fakultas Ushuluddin. Alumni PP Al-Khoirot Malang

One thought on “Bijak Dalam Mengutarakan Pendapat

Komentar ditutup.