Barokah dari sifat “materialistis” seorang wanita dalam penurunan Syariat Islam.
Barokah dari sifat “materialistis” seorang wanita dalam penurunan Syariat Islam.
Sebagai makhluk Allah yang sangat terkenal kelembutan hati serta ke-sensitifan perasaannya, Wanita juga sangat terkenal dengan sifat yang (lumrahnya) ”materialistik”. Yang menurut pandangan penulis secara umum, sebagian dari beberapa orang (terkhusus laki-laki) mungkin merasa tidak menyukainya. Walaupun hakikatnya tidak mentiadakan kelebihan dan berbagai kebaikan serta keluhuran pribadinya pula. Namun dibalik sifat itu, terdapat barokah, hikmah serta peran besar dari ke-Materialistikan seorang wanita dalam penurunan syari’at Islam.
Sebagaimana diketahui, terkadang syariat diturunkan dikarenakan untuk menjawab pertanyaan, solusi dari suatu permasalahan, atau sebab dari suatu perkara. Bahkan terkadang atau bisa dibilang sering, ayat Al-Qur’an turun secara Musta’nif (secara dhahiriyahnya turun tanpa ada sebab). Namun, berdasarkan problematika serta persoalan para wanita, Mereka mempunyai pengaruh serta peran dalam turunnya pensyariatan serta berbagai hukum Islam dengan meminta pertolongan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dalam naungan ajaran Islam dengan harapan mengetahui solusi serta jawaban atas problematika dan persoalan dalam kehidupan mereka sebagai seorang muslimah.
Dalam Al-Qur’an sendiri, cukup banyak ayat yang membuktikan kevalidan mengenai hal ini. Terutama dalam ayat yang membahas beberapa hak wanita secara khusus. Seperti dalam hukum warisan serta pembagiannya terhadap ahli waris.
Pada masa Jahiliyah sebelum era islam, warisan hanya diperuntukan untuk laki-laki yang bisa berperang, menunggang kuda serta menyelesaikan masalah yang membahayakan keluarga, kehormatan, dan hartanya. Dan memang pada masa itu, wanita sangat dipandang rendah karena tidak bisa melakukan hal itu. Hanya saja pada masa itu mereka berhak memberikan warisan, namun tidak berhak untuk menerima warisan. disebabkan secara fisik, wanita memang lebih lemah dari laki-laki, begitu pula secara tabiatnya itu semua bukan bidang mereka.
Akan tetapi, mereka tidak tinggal diam dengan ketidak adilan serta kedhaliman yang dibudayakan bangsa Jahili ini. Sebagaimana ajaran islam yang membawa kebenaran dan keadilan, mereka lalu meminta keadilan untuk diri mereka serta generasi para muslimah setelah mereka tentang permasalahan ini. Dan Akhirnya, hal ini menjadi salah satu Asbab An-Nuzul dari turunnya surat An-Nisa’ ayat 11 tentang pembagian Mawarist yang berbunyi:
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةً فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya: “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
Mengenai ayat diatas, Syaikh Fakhruddin Ar-Razi dalam At-Tafsir Al-Kabir menyebutkan:
رَوَى عطاء قال: «استُشهد سعد بن الربيع وترك ابنتين وامرأة وأخًا، فأخذ الأخ المال كله، فأتت المرأة وقالت: يا رسول الله هاتان ابنتا سعد، وإنَّ سعدًا قُتل، وإنَّ عمهما أخذ مالهما، فقال عليه الصلاة والسلام: (ارجعي فلعلَّ الله سيقضي فيه)، ثم إنها عادت بعد مدة وبكت، فنزلت هذه الآية، فدعا رسول الله ﷺ عمهما وقال: (أعط ابنتي سعد الثلثين، وأمَّهما الثمن وما بَقِيَ فهو لك)، فهذا أول ميراث قسم في الإسلام
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Atha, dia berkata: Sa’ad bin Ar-Rabi’ telah wafat (dalam keadaan) Syahid. Dan dia meninggalkan istri dan kedua putrinya. Namun seluruh hartanya telah diambil saudaranya. Kemudian istrinya mengadu kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, Ini adalah kedua putri Sa’ad. Dan sesungguhnya Sa’ad telah meninggal. Namun paman mereka telah mengambil seluruh harta mereka berdua”. Lalu Rasulullah SAW pun menjawab: “Pulanglah, semoga Allah memutuskan masalah ini”. Setelah beberapa saat, Ia pulang dan menangis. Lalu akhirnya turunlah ayat ini. Kemudian Rasulullah SAW memanggil paman mereka berdua dan berkata: “Berikan ⅔ (warisan) kepada kedua putri Sa’ad, dan ⅓ untuk istrinya. Dan sisanya untukmu”. Dan ini adalah awal pertama kali pembagian harta warisan dalam Islam.” (Fakhruddin Ar-Razi/At-Tafsir Al-Kabir/Cet. Dar Al-Turast Al-Arabi, Bairut/Jilid -9/Hl.509).
Tidak hanya itu, pada surat An-Nisa’ ayat 12, yang berbunyi:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ، فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ، وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ، فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ، وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ، فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ، وَصِيَّةً مِنَ اللهِ، وَاللهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Artinya: “Bagi kalian para suami adalah separo dari harta yang ditinggalkan oleh para istri kalian bila mereka tidak mempunyai anak; bila mereka mempunyai anak, maka bagi kalian mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya; setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) setelah dibayar hutangnya. Dan bagi para istri mendapat seperempat harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak; bila kalian mempunyai anak, maka mereka mendapatkan seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan; setelah dipenuhi wasiat yang kalian buat atau (dan) setelah dibayar hutang kalian. Bila seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai satu orang saudara laki-laki (seibu) atau satu orang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta; tetapi bila saudara-saudara seibu itu lebih dari satu orang, maka mereka bersama-sama mempunyai hak bagian sepertiga; setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan) setelah dibayar hutangnya dengan tidak merugikan. Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”
Dalam menanggapi ayat diatas, Ust. Dr. Ilham Muhammad Syahin dalam salah satu artikel beliau di Majalah Al-Azhar edisi Sya’ban 1444 H, mengatakan Asbab An-Nuzul dari ayat di atas adalah pengaduhan wanita mengenai harta waris mereka pula. disebutkan Imam Ibnu Hajar Al-Astqalani dalam karangan Al-Ishabah beliau:
مات عبد الرحمن أخو حسّان الشاعر، وترك امرأةً يُقال لها: أم كجة، وترك خمس أخوات، فجاء الورثة يأخذون ماله، فشكت أم كجّة ذلك إلى النبي ﷺ، فقالت: يا رسول الله، مات زوجي وتركني ، فلم نورث فقال عمُّ ولدها لا تركب فرسا ولا تحمل كلا، ولا تنكا” عدوا، فأنزل الله -تبارك وتعالى – هذه الآية.
Artinya: “Abdurrahman saudara Hassan Asy-Sya’ir meninggal. Dia meninggalkan seorang istri yang biasa disebut ‘Ummu Kujjah’ serta 5 orang saudara. Lalu ahli warisnya datang dan mengambil hartanya. Kemudian Ummu Kujjah mengadukan hal ini kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, Suamiku wafat dan meninggalkanku. Lalu aku belum mendapatkan warisan”. Tiba-tiba paman dari anaknya berkata: “Kau sama sekali tak pernah menaiki kuda ataupun berperang”. Hingga kemudian Allah SWT menurunkan ayat ini (An-Nisa’: 12).” (Ibnu Hajar Al-Astqalani/Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah/Maktabah Syamilah/Jilid -8/Hl. 457)
Begitulah Allah SWT menampakan hikmah dibalik sifat ‘Materialistik’ yang dimiliki seorang wanita. Yang mungkin pada dasarnya sifat tersebut adalah bentuk dari keadilan yang harus mereka utarakan untuk mendapatkan hak mereka sebagai hamba yang Allah ciptakan lebih lemah dari pada pada laki-laki. Bahkan ketika sudah berkeluarga, bisa kita saksikan sebagai seorang suami, besarnya pengorbanan mereka untuk kita. Seperti pesan yang disampaikan Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi kepada para suami:
“Ingat nak, gadis itu telah meninggalkan ayahnya, ibunya, saudara-saudaranya, dan keluarga besarnya hanya untuk tinggal dan hidup bersamamu. Maka jadilah engkau pengganti mereka baginya (berbaiklah kepadanya melebihi siapapun)”.
Dan dari sini pula kita bisa simpulkan, bagaimana Allah memberikan kita contoh dari besarnya dan agungnya nikmat yang Allah berikan melalui contoh yang biasa kita anggap remeh atau bahkan kita (laki-laki) anggap tidak baik. salah satunya ditampakan melalui sifat materialistik seorang wanita. Yang dari Barokah ke-Materialistikan mereka, kita bisa memetik manisnya buah dari keindahan serta keadilan syariat Islam melalui hukum pembagian warisan. Wallahu ‘Alam Bisshawab.
Kairo, 2 Maret 2023
Baca juga : Eksistensi Ilmu Mantiq serta Manfaat Mempelajarinya
Mahasiswa Indonesia di Mesir, asal dari Dampit. Saat ini menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Fakultas Ushuluddin. Alumni PP Al-Khoirot Malang